Bagi yang hafal Sūrah Al-Qiyāmah, kata ini pasti sudah tidak asing. Muncul di awal sūrah, ketika Allāh subhānahu wata’ālā bersumpah dengan Hari Kiamat, lalu dengan an-nafsul lawwāmah. Jiwa yang selalu menyesali dirinya.
Dan apalah yang lebih menyakitkan dari penyesalan menjelang kematian. Ketika nyawa telah sampai ke kerongkongan.
Siapalah saat itu yang bisa menyembuhkan?
Ketika bertaut betis kiri dan betis kanan. Dan ia yakin itulah waktu perpisahan.
Perpisahan dengan dunia.
Sebagian orang berkata bahwa an-nafsul lawwāmah adalah jiwa yang tidak berdiam diri pada suatu keadaan. Ia sering terombang-ambing dan berubah. Ia terkadang ingat kemudian lalai. Kadang menerima dan kadang menolak. Terkadang ia cinta dan dalam waktu lain ia benci. Ia terkadang senang dan kemudian sedih. Terkadang ia ridha dan terkadang marah. Dan terkadang ia patuh serta taat tapi terkadang juga bermaksiat.
Sebagian yang lain berkata bahwa an-nafsul lawwāmah adalah jiwa seorang mu’min. Hasan al-Bashri berkata, “Engkau tidak akan melihat mu’min kecuali ia selalu menyalahkan dirinya. Ia berkata kepada dirinya: ‘Apa yang engkau inginkan dari ini? Kenapa engkau melakukan ini? Ini lebih baik dari itu’ dan perkataan lainnya yang menunjukkan penyesalan.”
Sebagian yang lain juga berkata bahwa celaan akan terjadi (kepada semua orang) pada Hari Kiamat. Apabila seseorang adalah orang yang selalu berbuat buruk, maka ia akan mencela dirinya karena keburukannya. Sedangkan apabila orang tersebut suka berbuat baik, maka ia akan mencela dirinya karena sedikitnya perbuatan baik tersebut.
Imam Ibnul Qayyim berkata, “Semua hal tersebut benar adanya.”
An-nafsul lawwāmah, jiwa yang suka mencela, itu ada dua jenis:
- Lawwāmah mulawwamah, suka mencela dan tercela.
- Lawwāmah ghair mulawwamah, suka mencela tapi tidak tercela.
An-nafsul lawwāmah mulawwamah adalah jiwa yang bodoh dan zhalim yang dicela oleh Allāh ‘azzawajalla dan malaikat-Nya.
An-nafsul lawwāmah ghair mulawwamah adalah jiwa yang senantiasa mencela pemiliknya dikarenakan sedikitnya amal yang dilakukan dalam ketaatan kepada Allāh subhānahu wata’ālā, padahal ia sudah bersungguh-sungguh dan mengorbankan dirinya. Maka jiwa seperti ini tidak tercela.
Orang yang mencela dirinya karena ada kekurangan dalam menjalankan ketaatan kepada Allāh akan memiliki hati yang mulia. Ia juga akan mampu menerima kritikan orang dan tidak akan menganggapnya sebagai celaan. Maka jika seperti ini keadaannya, maka ia telah terlepas dari celaan Allāh.
Adapun orang yang ridha terhadap amalnya, tidak pernah mencela dirinya, dan tidak bisa menerima kritikan orang di jalan Allāh, maka dialah yang dicela oleh Allāh subhānahu wata’ālā.
- Al-Bahrurrā’iq fizzuhdi warraqā’iq, Zuhud dan Kelembutan Hati, Dr. Ahmad Farid, hal. 214