We

Belajar Bahasa Arab Buat Apa?

Saya kan bukan orang Arab, buat apa saya belajar Bahasa Arab?

Buat apa sih kita belajar Bahasa Arab? Kan ngga setiap muslim harus bisa Bahasa Arab? Itu kan buat ustadz atau ulama aja. Saya mah kan cuma muslim biasa-biasa aja. Yang penting kan saya shalat, baca Al-Qur’an, dan bisa baca sama terjemahannya. Jadi kayanya saya ngga perlu deh belajar bahasa itu. Kalo Allah mau saya paham Bahasa Arab, pasti Allah udah menakdirkan saya jadi orang Arab, bukan orang Indonesia. Jadi bukan salah saya dong kalo saya ngga paham.

Begitulah… Itu mungkin alasan-alasan pamungkas yang dijadikan tameng kebanyakan dari kita waktu ada yang ngajak belajar Bahasa Arab. Masuk akal memang. Tapi saya mau mengajak sahabat semua untuk menjelajahi sesuatu yang lebih masuk akal dari itu. Sesuatu yang lebih menakjubkan dari itu.

Menakjubkan seperti halnya naqatullah (Unta Allah) pada zaman Nabi Salih ‘alayhissalam, yang muncul dari bebatuan yang terbelah dan sanggup meminum seluruh isi danau dalam satu tegukan. Atau seperti Nabi ‘Isa ‘alayhissalam ketika beliau menghidupkan orang mati, dengan izin Allah. Atau seperti laut yang terbelah oleh tongkat Nabi Musa ‘alayhissalam.

Yup. Mu’jizat para nabi, itulah yang akan kita bahas sedikit di sini. Ketika Allah mengutus seorang nabi atau rasul untuk menyampaikan suatu risalah (pesan) kepada manusia, Allah memberikan mu’jizat tertentu. Untuk apa? Pastinya untuk menolong atau memudahkan mereka dalam menyampaikan risalah itu.

Bayangkan misalnya kita hidup ribuan tahun yang lalu. Terus tiba-tiba misalnya tetangga sebelah kita bilang kaya gini: “Tadi malam ada malaikat datang kepada saya, memberikan wahyu dan memberitahu saya bahwa saya adalah utusan Allah. Jadi mulai sekarang, apapun yang saya katakan, itu datangnya dari Allah, yang dikirim melalui malaikat ini, bukan dari saya. Kamu selama ini mungkin kenal saya sebagai tetangga, tapi mulai sekarang saya adalah Rasul Allah. Dan mulai sekarang sampai seterusnya, kamu harus melakukan segala yang saya perintahkan. Karena sebenarnya bukan saya yang memberi perintah, tapi saya memberi perintah atas nama Allah.”

Bayangkan tetangga kita bilang kaya gini. Reaksi kebanyakan dari kita pastinya: “Oookeeey… Bapak sehat? Ngga lagi becanda kan?”

Zaman sekarang kalo ada yang kaya gini pasti disebut orang gila. Tentunya karena kita tahu ngga ada Nabi lagi yang akan datang setelah Nabi Muhammad sallallahu ‘alayhi wasallam. Tapi walaupun misalnya kita hidup ribuan tahun yang lalu, ketika para Nabi masih terus diutus, tetap aja ini bukan sesuatu yang gampang untuk dipercayai.

Bayangkan misalnya yang bilang gitu tuh sepupu kita, atau paman kita, atau keponakan kita. Pastinya ngga akan mudah buat kita untuk percaya. Tapi misalnya, ketika dia bisa membawa kepada kita unta yang bisa meminum seluruh isi danau dalam satu tegukan, atau dengan tongkatnya bisa membelah laut, pastinya kita bakal berubah pikiran. Setelah melihat mu’jizat dan tanda-tanda kekuasaan Allah yang dibawanya, dengan mata kepala sendiri, akan mudah bagi kita untuk menerima dan mengimani bahwa ini benar seorang utusan Allah. Kita akan tunduk dan berkata: “Ini ngga mungkin dari seorang manusia, kekuatan seperti ini hanya bisa berasal dari Sang Pencipta Langit dan Bumi.”

Menyaksikan sendiri hal kaya gitu pastinya bakal jadi iman booster, pendongkrak keimanan. Yang membuat kita ngga perlu banyak tanya untuk taat sepenuhnya sama utusan Allah itu. Karena apapun yang diperintahkan, berasal dari kekuatan dan pengetahuan jauh di atas apa yang dimiliki manusia.

Tapi sedahsyat apapun mu’jizat itu, efeknya terutama cuma sama orang-orang yang melihatnya secara langsung, dan cuma pada saat itu aja. Atau seengganya cuma pada beberapa generasi berikutnya yang terdekat aja. Orang yang ngeliat langsung bakal nyeritain ke anak-anaknya: “Nak, bapak ngeliat dengan mata kepala bapak sendiri, laut terbelah kaya gunung besar di kanan kiri, ngasih jalan untuk melintas.” Dan si anak pun bakal percaya penuh karena denger kisahnya dari ayahnya yang menyaksikan langsung. Tetapi beberapa generasi kemudian, ketika kisah tersebut diceritakan ayah-anak berikutnya, level keimanannya udah ngga seperti yang menyaksikan langsung. Dan bahkan pada suatu generasi tertentu mungkin ada yang meragukan apa peristiwa itu benar-benar terjadi atau ngga.

Berbeda halnya dengan mu’jizat Nabi dan Rasul yang terakhir, Muhammad sallallahu ‘alayhi wasallam, Rasul akhir zaman, Rasul kita semua umat muslim di seluruh dunia. Beliau membawa sebuah mu’jizat yang abadi dan ngga hilang ditelan zaman. Dan mu’jizat itu adalah Al-Qur’an, yang ada di tangan kita saat ini. Berbeda dengan nabi-nabi sebelumnya, mereka membawa mu’jizat dan risalah (pesan) yang disampaikan, secara terpisah. Sedangkan Al-Qur’an adalah mu’jizat sekaligus risalah secara bersamaan. Dan Al-Qur’an diturunkan dalam Bahasa Arab, sehingga mu’jizatnya pun ada di dalam Bahasa Arab.

Di sinilah kita kembali ke pertanyaan awal mengenai Bahasa Arab. Kenapa kita harus belajar Bahasa Arab?

Jawaban pertama, karena ketika seseorang menerjemahkan Al-Qur’an, bahkan terjemahan terbaik sekalipun, penerjemah itu hanya bisa berusaha maksimal untuk menerjemahkan risalah (pesan) di dalam Al-Qur’an. Dan adalah hal yang mustahil bagi penerjemah untuk menerjemahkan mu’jizatnya, yang memang spesifik hanya bisa dirasakan dalam Bahasa Arab dan hanya dalam kata-kata pilihan Allah.

Sehingga ketika kita mencoba menjelaskan suatu ayat Al-Qur’an dalam Bahasa Indonesia, atau Bahasa Inggris, atau bahasa yang lain, mungkin kita bisa menjelaskan makna dari ayat itu. Tapi mustahil kita bisa memperlihatkan kemu’jizatan dan keindahannya dengan menggunakan bahasa selain Bahasa Arab.

Contohnya misalnya dalam Surat Al-Muddatsir ayat ke-3. Allah Subhaanahu wata’aala berfirman,

وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ

Terjemahan simpelnya: “dan agungkanlah Tuhanmu”, sedangkan terjemahan yang lebih tepatnya: “dan nyatakanlah hanya keagungan Tuhanmu saja”.

Huruf و dalam bahasa Arab, sebenarnya tidak selalu berarti “dan”. Huruf و dapat digunakan untuk 21 jenis fungsi, dan salah satunya sebagai isti’naf yaitu untuk memulai kalimat baru. Sehingga sisanya berbunyi,

رَبَّكَ فَكَبِّرْ

Nah sekarang perhatikan dengan baik. Kalimat tersebut dimulai dengan huruf ر dan diakhiri dengan huruf ر juga. Huruf kedua adalah huruf ب dan huruf kedua terakhir adalah huruf ب juga. Huruf ketiga adalah huruf ك dan huruf ketiga terakhir adalah huruf ك juga. Dan huruf ف di tengahnya.

ر ـ بّ ـ ك ـ ف ـ ك ـ بّ ـ ر

Suatu rangkaian simetris yang hanya terdiri dari 7 huruf. Dalam bahasa Indonesia kita perlu menuliskan “dan nyatakanlah hanya keagungan Tuhanmu saja”. Dan Qur’an hanya membutuhkan 7 huruf yang disusun secara sangat elegan.

Dan adalah suatu hal yang mustahil untuk mengatakannya dalam Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, atau bahasa apapun, yang maknanya adalah “dan nyatakanlah hanya keagungan Tuhanmu saja”, tetapi bisa dieja secara sama baik dari depan maupun belakang. Sangat-sangat mustahil. Subhaanallah!

Kita bisa nerjemahin maknanya, tapi ngga mu’jizatnya. Tragedi bagi kebanyakan muslim saat ini adalah, bahkan maknanya pun ngga tahu. Dan untuk mereka yang tahu maknanya, mereka ngga bisa ngerasain mu’jizatnya. Hal ini bagai harta karun yang hampir hilang bagi sebagian besar kaum muslimin.

Sehingga shalat hanya sebatas ritual tanpa makna, hanya menghafal tapi ngga mengerti isinya, apalagi merasakan mu’jizatnya. Kita atau anak-anak kita banyak menghafal Al-Qur’an, bahkan komplit 30 juz. Sayangnya seringkali hanya berhenti di hafalan, sehingga kita hanya menjadi sebatas komputer penyimpan data ayat-ayat, yang bisa di-play kapan aja. Tapi have no idea maknanya apa dan keindahannya bahasanya kaya gimana.

Bayangkan kalau kita atau anak-anak kita, untuk surat-surat pendek aja misalnya, kita tahu maknanya, tahu keindahan bahasanya dan mu’jizatnya. Bukankah kita akan memiliki level keimanan yang berbeda terhadap ayat-ayat itu? Ayat-ayat itu akan lebih berarti bagi kita. Dan akan memiliki dampak yang berbeda dalam hidup kita.

Jawaban kedua adalah, karena Allah berulang kali di dalam Al-Qur’an, tepatnya 11 kali yaitu di [1] Surat Yusuf ayat 2, [2] Surat Ra’d ayat 37, [3] Surat An-Nahl ayat 103, [4] Surat Taha ayat 113, [5] Surat Asy-Syu’ara’ ayat 195, [6] Surat Az-Zumar ayat 28, [7] Surat Fussilat ayat 3, [8] Surat Fussilat ayat 44, [9] Surat Asy-Syura ayat 7, [10] Surat Az-Zukhruf ayat 3, dan [11] Surat Al-Ahqaf ayat 12, mengatakan bahwa Allah menurunkan Al-Qur’an dalam Bahasa Arab. Allah mengatakan “Qur’aanan ‘arabiyyan” (Arabic Qur’an; Qur’an berbahasa Arab) atau “bilisaanin ‘arabiyyin” (in the Arabic language; dalam Bahasa Arab). Ini menunjukkan keterikatan yang sangat erat antara Al-Qur’an dengan Bahasa Arab. Dan ini juga menunjukkan bahwa kunci dalam memahami Al-Qur’an adalah Bahasa Arab.

Jawaban ketiga. Karena selain keindahan bahasa, ada hal lain yang hilang ketika menerjemahkan, yaitu kedalaman maknanya yang sangat dalam, di setiap kosa kata yang digunakan. Contohnya misalnya kata “ins“, diterjemahkan sebagai “manusia”. Lalu ada kata “insaan“, ada kata “anaas“, ada kata “naas“, ada kata “basyar“, ada “insiyyaa“, semua diterjemahkan ke Bahasa Indonesia sebagai “manusia”. Karena penerjemah memang ngga punya pilihan kata lain dalam Bahasa Indonesia selain satu kata itu. Dan bayangkan semua kata pilihan Allah itu, yang masing-masing punya kedalaman maknanya masing-masing, dalam konteksnya masing-masing, lalu diterjemahkan hanya menjadi satu kata: “manusia”. Ketika Allah menggunakan berbagai kata, bukankah maknanya juga berbeda? Kalau Allah memang bermaksud untuk mengatakan 1 hal saja, lalu kenapa Allah tidak menggunakan 1 jenis kata saja?

Bahasa Arab adalah bahasa yang rich in vocabulary, kaya kosa kata, sangat distinct dan spesifik. Ada 10 kata Bahasa Arab untuk “kemarahan”, ada banyak sekali kata untuk “melihat”, ada banyak kata untuk menggambarkan “kesabaran”, dan masing-masing digunakan untuk maksud yang berbeda-beda. Bayangkan semua kedalaman makna itu hilang ketika diterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Mungkin kita bisa paham makna umumnya, tapi tidak akan bisa paham secara tepat makna spesifiknya.

Jawaban keempat adalah tentang grammar, susunan kata, dan struktur kata. Misalnya, ketika baca Al-Qur’an kita sering mendengar “Allaahu bimaa ta’maluuna khabiir“. Dan kita juga sering mendengar “Allaahu khabiirun bima ta’maluun“. Dua urutan yang berbeda. Kalau kita baca terjemahan dari ayat ini dalam Bahasa Indonesia atau bahasa apapun, pasti terjemahannya sama yang kurang lebih bunyinya “Sungguh Allah mengetahui segala yang kamu lakukan”. Tapi apakah Allah mengatakan hal yang sama dengan dua struktur yang berbeda itu? Nope, Allah mengatakan dua hal yang berbeda. Bahasa Arab memiliki suatu language mechanics (mekanisme bahasa) yang tidak dimiliki bahasa yang lain. Sehingga menerjemahkan dengan level sensitivitas yang sama, adalah hal yang mustahil untuk dilakukan.

Jadi sahabat-sahabat, kalau kita bilang, “saya udah paham koq ayat ini, saya baca terjemahannya”, atau misalnya “saya udah paham koq seluruh Al-Qur’an, saya udah khatam baca terjemahannya”, percayalah kita belum benar-benar membacanya dan memahaminya. Al-Qur’an bukan casual reading, tidak bisa dibaca sekilas. Harus dibaca terus-menerus dengan teliti kalau ingin benar-benar paham. Ngga bisa sekali baca langsung paham. Paham Al-Qur’an itu ngga murah. Perlu dibayar mahal dengan waktu dan usaha kita.

Untuk sesuatu seberharga Al-Qur’an, we need to go beyond reading and memorization, kita harus lebih dari sekedar membaca dan menghafal. Kita harus mengerahkan usaha terbaik kita untuk memahaminya. Sehingga kita akan merasakan hal yang benar-benar berbeda dalam tilawah kita, dalam shalat kita. Sesuatu yang bisa mengubah hidup kita untuk selamanya.

Referensi:

 
 


Abu Qurrah January 12, 2019
Share this post
Sign in to leave a comment
We
Game Over
Ngga ada kesempatan kedua dalam ‘game’ ini. Hanya satu kali. Ketika kita mati, it’s done. Ngga bisa restart dan mulai lagi.