We

BLACKPINK

Hitam-pink? To be honest, kata “blackpink” tidak eksis di dalam kamus kata di otak saya sebelumnya. Hingga akhirnya terpaksa eksis karena sebuah kejadian yang akan saya ceritakan berikut ini.

Hitam-pink? To be honest, kata “blackpink” tidak eksis di dalam kamus kata di otak saya sebelumnya. Hingga akhirnya terpaksa eksis karena sebuah kejadian yang akan saya ceritakan berikut ini. Maklum sudah setahun lebih rumah kami “puasa” dari TV, mengikuti jejak keluarga seorang sahabat di Bojonegoro dulu, yang telah menginspirasi kami dalam hal rumah tangga, mendidik anak dan bagaimana mencetak generasi muslim yang unggul dan melek terhadap tujuan hidupnya.

Dan alhamdulillaah dengan itu, anak-anak tidak terpapar konten-konten negatif yang disuguhkan oleh acara TV. Sedikit demi sedikit mereka pun bisa dialihkan ke kegiatan yang lebih positif seperti membaca buku, mengaji, muraja’ah, berkarya, dsb. Tentu saja itu semua bukan berarti tanpa kendala, kami masih awam masalah parenting, dan masih jauh dari menjadi orang tua yang sempurna. Kami hanya mencoba selangkah demi selangkah, untuk menjadi lebih baik.

Ok, kembali ke Blackpink. Alkisah anak kami yang pertama, Teteh Arin (begitulah kami memanggilnya), yang sekarang sudah kelas 3 di sebuah Sekolah Dasar Islam Terpadu, bertanya kepada ibunya, “Ibu, Blackpink itu apa?”

Istri saya geleng-geleng, begitu pun saya. Apaan sih Blackpink? Terpaksa saya tanya ke mbah gugel. Dan begitu search result nya keluar…

Subhaanallaah… Semoga Allah menjauhkan keluarga kami dari wanita-wanita yang tidak menutup auratnya. Yang menjajakan suara dan tubuhnya hanya untuk uang receh yang kelak di akhirat, tidak ada nilainya.

Ternyata Blackpink adalah sebuah girl band asal Korea, dengan pakaiannya yang kekurangan bahan, yang sedang populer di kalangan anak muda, dan bahkan anak-anak.

Dan anak kami bertanya, karena diajak teman-teman sekelasnya, yang ternyata pada nge-fans dengan Blackpink, untuk tampil di sebuah acara sekolah, membawakan lagu mereka.

Kami pun segera mengontak wali kelasnya mengenai masalah ini. Dan teman-temannya akhirnya dikasih “warning” oleh gurunya, yang menegaskan bahwa penampilan hanya boleh membawakan lagu Islami.

Kisah ini sebenernya sudah beberapa bulan yang lalu. Dan kami sangat bersyukur dikaruniai seorang anak yang jujur meskipun teman-temannya menyuruhnya berbohong.

Meskipun bersekolah di Sekolah Islam terpadu, memang anak kami termasuk anak yang “mahiwal“. (Mahiwal : lain sendiri).

Seperti halnya ayah & ibunya, sering merasa asing bahkan di keluarga sendiri atau di lingkungan sendiri, hehe. Dan justru itulah yang membuat kami sangat bangga. Karena dari kesadarannya sendiri, tanpa paksaan, anak kami berani berbeda dengan teman-temannya, untuk menjadi muslim yang taat.

Di saat teman-temannya nonton TV, anak kami ngga. Di saat teman-temannya (berikut orang tuanya) menonton film / drama korea, anak kami ngga. Di saat teman-temannya mendengarkan musik, anak kami ngga. Di saat teman-temannya merayakan ulang tahun, anak kami ngga. Dan juga hal-hal yang lain.

Meskipun dulu anak kami sempat minder karena itu. Dan bahkan sempat menjadi korban bullying karena itu. Kini anak kami begitu tegar dan bangga dengan ke-“mahiwal“-nya.

Beberapa hari yang lalu, setelah tahun ajaran baru dimulai, anak kami mulai diajakin lagi untuk nge-Blackpink. And she boldly said NO. Sekali ngga tetep ngga. Walhasil dia “diasingkan dari dunia persilatan” oleh teman-teman akhwatnya, atas komando “ketua geng akhwat”-nya yang notabene fans berat Blackpink. Hehe. Biasa lah… anak-anak.

Tapi masyaAllah, anak kami cuek aja. Tegar dengan keterasingannya. 
Baaraakallaahu fiihaa…

Sebuah keterasingan yang mahal.
Yang kelak berat di timbangan.
Pada hari di mana tak ada dolar, rupiah, atau emas.
Yang ada hanya amal kebaikan.

Karena itu, berbahagialah orang-orang yang terasing dalam ketaatan kepada Rabb-nya. Karena sesungguhnya, “Islam datang dalam keadaan yang asing, akan kembali pula dalam keadaan asing. Sungguh beruntunglah orang yang asing.” (HR. Muslim no. 145).


Based on Image by Doris Jungo from Pixabay


Abu Qurrah July 20, 2019
Share this post
Sign in to leave a comment
We
Ketika Truth Seeker Memilih untuk Bertaqlid | Bagian 1
Seeing is believing. Percaya itu harus melihat. Kebenaran harus make sense, logis dan bisa dijilat. Begitulah yang ada di benak saya dulu.