Bukannya yang paling penting itu paham artinya ya? Makhraj huruf salah dikit mah ga apa-apa kali gan !”. Dengan sombongnya saya dulu mengatakan itu kepada seorang sahabat, yang dengan sukarela mengajarkan saya Tajwid dan mengoreksi bacaan Al-Qur’an saya yang masih berantakan. Beliau melakukannya tanpa dibayar. Dan bahkan sebaliknya, sayalah yang selalu diberi. Disuguhi makanan, diberi Mushaf Madinah (yang menggunakan Rasm Utsmani), buku-buku parenting, dan berbagai macam pemberian lainnya.
Hafidzahullaah. Semoga Allah menjaganya. Wajazaahullaahu khayran katsiiraa.
Semester ini, sesuai program, saya mengambil mata kuliah Tajwid 101. Dan entah kenapa segala hal mengenai Tajwid, selalu mengingatkan saya kepada beliau. Mengingatkan masa-masa sekitar 2-3 tahun yang lalu, duduk bersama di rumah beliau, untuk memperbaiki bacaan Al-Qur’an.
Dan di awal-awal pertemuan, saya termasuk yang agak defensif dan ngga terima ketika dikoreksi. Bagaimana ngga. Ketika dicek bacaan Al-Fatihah, membaca isti’aadzah dan basmalah aja saya udah tertahan. Ngga lulus dan banyak salahnya. Sampai-sampai waktu itu ngebatin, “Masa sih sampe harus segitunya makhraj huruf ga boleh salah?”.
Seiring berjalannya waktu, dengan hikmah Allah, jelaslah terlihat oleh saya sendiri, bahwa saya lah yang salah. Bahwa ilmu Tajwid, ternyata memiliki fungsi yang luar biasa penting. Sesuatu yang memastikan mu’jizat Allah ini tetap terjaga sesuai aslinya, meskipun telah berusia lebih dari 1400 tahun. Dan alhamdulillah, pada akhirnya Allah telah memberi saya kesempatan untuk duduk bersama sahabat saya itu, dan belajar banyak hal tentang bacaan Al-Qur’an dari beliau, yang telah membuat saya jatuh hati dengan ilmu Tajwid.
Seiring waktu bergulir, di awal-awal saya belajar Bahasa Arab, saya selalu penasaran, koq kaidah-kaidah Tajwid kayanya ngga berlaku ya dalam Bahasa Arab sehari-hari? Ketika mengucapkan أَنْتُمْ misalnya, ya biasa aja dibaca “antum“, ngga perlu dibaca “ang…tum” pake Ikhfaa’.
Saya juga selalu penasaran kenapa dalam keadaan-keadaan tertentu, ketika membaca Al-Qur’an, kita harus memanjangkan bacaan hingga 4 atau 6 harakat? Dan kalau tidak memanjangkan, hanya 2 harakat aja, akan dianggap sebagai suatu kesalahan. Padahal dalam Bahasa Arab sehari-hari, yang penting itu membedakan 1 dengan 2 harakat aja, karena itu yang bisa mengubah makna. Dan memanjangkannya hingga 4 atau 6 harakat, sebenarnya tidak mengubah makna suatu kata sama sekali.
Dan banyak lagi pertanyaan-pertanyaan kepenasaran saya yang lain terhadap ilmu Tajwid. Dan pertanyaan-pertanyaan itu kini terjawab sudah di Mata Kuliah Tajwid 101.
Saya sangat suka dengan text book yang digunakan. Yang berjudul أحكام تجويد القرآن (Tajweed Rules of The Qur’an) yang ditulis oleh Kareema Carol Czerepinski. Seorang hafidz berkebangsaan Amerika, yang menjadi pengajar Tajwid bagi non-Arab di Arab Saudi. Beliau menguasai bacaan Al-Qur’an dengan isnad hingga Rasulullah ﷺ, dengan riwayat Hafs.
Bagian pendahuluannya banyak menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar mengenai ilmu Tajwid. Dan beberapa diantaranya adalah pertanyaan-pertanyaan saya yang dari dulu saya penasaran akan hal itu.
Bahwa ternyata at-tajwiid التجويد secara linguistik bermakna at-tahsiin التحسين yang artinya “perbaikan”, “betterment“. Dan secara istilah, artinya mengartikulasikan atau mengucapkan dengan jelas setiap huruf dari titik artikulasinya مخارج الحروف (misalnya huruf ع , titik artikulasinya di tenggorokan bagian tengah) , dan memberikan hak-hak karakteristik yang harus dibayar, di setiap hurufnya.
Mengapa harus segitunya?
Karena begitulah cara Rasulullaah ﷺ membaca Al-Qur’an. Begitu pula lah Jibril ‘alayhissalaam mengajarkan kepada beliau. Sehingga mempelajari aturan-aturan dalam ilmu Tajwid, pada hakikatnya adalah ikhtiar untuk menjaga lisan kita ketika membaca Al-Qur’an, agar tidak menyimpang dan menyelisihi cara beliau ketika membacanya.
Karena cara membaca Al-Qur’an, tidak sama dengan cara membaca tulisan Arab pada umumnya. Meskipun ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa aturan Tajwid juga perlu diaplikasikan kepada Hadits. Namun mayoritas ulama mengatakan bahwa aturan Tajwid hanya diaplikasikan khusus ketika membaca Al-Qur’an.
Dan cara membaca seperti ini sangat penting untuk menjaga Al-Qur’an dari distorsi. Semua aturan-aturannya, dari sudut pandang aplikasi dan praktis, Rasulullah ﷺ lah yang menentukan. Dan begitu pula lah beliau mengajarkan kepada sahabat beliau. Meskipun dari sudut pandang ilmu Tajwid yang dibakukan berikut istilah-istilahnya, para ulama ilmu Tajwid seperti misalnya Abu ‘Ubaid Al-Qasim bin Sallaam lah yang memberikan penamaan dan penjelasan.
Dan pembakuan ini sangat penting ketika Islam menyebar ke seluruh penjuru dunia. Sehingga orang Arab kemudian bercampur dengan non-Arab. Dan bahasa Arab bisa dengan mudah terkorupsi dan bercampur dengan bahasa lain. Sehingga aturan dan ilmu yang baku menjadi suatu keharusan untuk mencegah kesalahan dalam membaca Al-Qur’an.
Itulah kenapa, mempelajari ilmu Tajwid, istilah-istilah dan penamaannya itu hukumnya fardhu kifayah, wajib dalam suatu komunitas, ada seseorang yang menguasai. Namun, mempelajari aplikasi dari ilmu Tajwid itu hukumnya fardhu ‘ain, wajib bagi setiap muslim. Gampangannya, boleh ngga hafal istilah-istilahnya (mis: ikhfaa’ syafawi, idghaam bigunnah, dll), tapi pas baca Al-Qur’an, bacaannya benar dan menerapkan kaidah ikhfaa’ dan idgham dengan benar. Meskipun ngga hafal istilah-istilahnya.
Dan yang sering terlupakan oleh kebanyakan kita adalah: مخارج الحروف , makhaarijul huruuf, titik artikulasi huruf-huruf. Begitu banyak yang meremehkannya. Padahal kesalahan makhraj itu bisa mengubah makna secara drastis. Contohnya jika huruf ع tertukar-tukar dengan ء . Misalnya kata سَأَلَ , artinya meminta atau bertanya. Sedangkan سَعَلَ artinya batuk.
Dan bahkan jika ternyata kebetulan tidak mengubah makna pun, tetap menyelisihi cara Rasulullah ﷺ membacanya. Misalnya kata alladzii الَّذِي yang artinya “dia yang”, ternyata malah dibaca dengan huruf ز sehingga terdengar “allazii“. Sebenarnya dalam Bahasa Arab tidak ada kata الَّزِي , sehingga kesalahannya mungkin tidak mengubah makna. Tapi tetap dianggap kesalahan yang jelas dan nyata atau disebut ٌلَحْنٌ جَلِي ظَاهِر .
Itulah…Seperti halnya saya dulu, kita mungkin merasa ini semua terlalu susah untuk lisan kita. Dan ungkapan-ungkapan seperti:
“Masa harus sampe segitunya sih?”
atau,”Bukannya yang paling penting itu paham artinya ya?”
memang sering terdengar. Tapi bukankah bagi orang yang lisannya kesusahan dalam membaca Al-Qur’an, namun terus berusaha memperbaikinya, Allah sudah siapkan pahala dobel di setiap huruf yang dibacanya?
Rasulullah ﷺ bersabda,”Orang mukmin yang mahir membaca Al-Qur’an, maka kedudukannya di akhirat ditemani oleh para malaikat yang mulia. Dan orang yang membaca Al-Qur’an dengan gagap, ia sulit dalam membacanya, maka ia mendapat dua pahala.” (HR. Muslim: 1329)
“Barangsiapa membaca satu huruf dari Kitabullah (Al-Qur’an), maka baginya satu pahala kebaikan dan satu pahala kebaikan akan dilipat gandakan menjadi sepuluh kali, aku tidak mengatakan ALIF LAAM MIIM itu satu huruf, akan tetapi ALIF satu huruf, LAAM satu huruf dan MIIM satu huruf.” (HR. Tirmidzi: 2835) – Shahih
Dan bukankah ahlul Qur’an adalah orang spesialnya Allah?
“Sesungguhnya Allah mempunyai banyak orang spesial dari kalangan manusia.” Para sahabat bertanya; “Ya Rasulullah, siapakah mereka itu?” beliau menjawab: “Mereka adalah ahlul Qur’an, mereka adalah para ahli dan orang spesial bagi Allah.” (HR. Ibnu Majah: 211) – Shahih
Semoga kita semua termasuk mu’min yang terus dan terus memperbaiki bacaan Al-Qur’an kita. Semoga Allah mudahkan kita untuk memahami dan mengamalkannya. Semoga Allah jauhkan kita dari kemunafikan, yang hanya membaca tanpa mengamalkannya.
Dan semoga Allah menjadikan kita seperti buah Utrujah yang disebutkan dalam sabda Rasulullah ﷺ,
“Seorang mukmin yang membaca Al-Qur’an dan beramal dengannya adalah bagaikan buah utrujah, rasanya lezat dan baunya juga sedap. Dan mukmin yang tidak membaca Al-Qur’an namun beramal dengannya adalah seperti buah kurma, rasanya manis, namun tidak ada baunya. Sedangkan perumpamaan orang munafik yang membaca Al-Qur’an adalah seperti Ar-Raihanah, aromanya sedap, tetapi rasanya pahit. Dan perumpamaan orang munafik yang tidak membaca Al-Qur’an adalah seperti Al-Hanzhalah, rasanya pahit dan baunya juga busuk.” (HR. Bukhari: 4671)
Aamiin.. yaa Rabbal ‘aalamiin.
Referensi:
- Tajweed 101. International Open University.
- Ahkaamu Tajwiidil Qur’aan (Tajweed Rules of the Qur’an). Kareema Carol Czerepinski.
- Ensiklopedi Hadits 9 Imam (http://lidwa.com/android)
Cover image by Republica from Pixabay