We

Cahaya di Atas Cahaya

نور على نور

Sedih rasanya melihat ‘orang-orang itu’ begitu bangga dengan maksiatnya, dengan perbuatan fahisyahnyawith what they so called hak tak ber-Tuhannya, dan ke-sekulerisme-annya. Lebih terasa sedih lagi, ketika tahu bahwa orang-orang itu ternyata berada di sekitar penguasa.

Mendengar mereka berbicara, jelas terlihat bahwa mereka berada dalam kegelapan yang berlapis-lapis di laut yang dalam, yang tertutup gelombang demi gelombang, yang di atasnya juga tertutup awan gelap. Gelap gulita yang berlapis-lapis, seperti yang digambarkan dalam Surat An-Nur ayat 40.

Rasanya suram bener membayangkan kegelapan itu tumbuh dan menyebar di negeri ini. Menular deras kepada anak kita, keluarga kita.

Tapi mungkin kita lupa, bahwa jika hari sudah gelap, sebenarnya kita hanya tinggal menyalakan lampu. Kegelapan hanyalah ketiadaan cahaya. Sehingga sebenarnya ini bukan tentang mereka, tapi tentang KITA. Bukan tentang kegelapan, tapi tentang CAHAYA. Cahaya yang dijelaskan dalam Surat An-Nur ayat 35. Cahaya-Nya.

Yang diumpamakan seperti lampu/pelita di dalam ‘misykaat‘, bagian dinding rumah tempo dulu yang menjorok ke dalam yang berbentuk kubat/arch (lengkungan pintu/arsitektur mesjid).

Pelita/api itu berada di dalam kaca, yang melindungi pelita itu agar tidak padam. (Seperti lampu minyak tempo dulu). Dimana kacanya saja seperti bintang yang berkilau. Saking berkilaunya, seolah-olah memiliki cahayanya sendiri.

Lampu/pelita ini bahan bakarnya adalah minyak dari pohon zaitun yang diberkahi. Yang tumbuh tidak di timur maupun di barat. Yang potensi bahan bakarnya tak terbatas, karena diberkahi.

Tunggu, apa sebenarnya yang sedang digambarkan ayat ini?

Ayat ini sedang menggambarkan cahaya yang diberikan Allah di dalam hati kita. Pernahkah kita perhatikan bahwa rongga dada kita berbentuk seperti kubat/arch/misykaat?
Allah telah menaruh di dalam dada kita sebuah lampu kecil, hati kita. Di dalam hati kita Allah menaruh suatu bahan bakar, yang begitu murni, yang tidak ditemukan di mana pun, yang langsung terhubung dengan Allah. Terpapar penuh oleh Cahaya-Nya, seperti halnya pohon yang terpapar penuh oleh sinar matahari. Itulah ruh kita.

Di dalam setiap diri kita, ada cahaya. Purest kind of light.

Ketika kita rajin mensucikan diri, kaca di sekelilingnya akan bersih dan berkilau.

Ketika hendak dinyalakan, lampu ini, hampir-hampir saja bahan bakarnya ingin menyambar setiap percikan yang ada. Walaupun percikan api belum menyentuhnya, bahan bakar ini seolah tidak sabar ingin dinyalakan. Ingin memenuhi tujuan dia diciptakan.

Ketika cahaya petunjuk Allah, ketika cahaya Al-Qur’an, masuk melalui mata, melalui telinga, menuju hati, bertemu dengan bahan bakar yang sudah tak sabar ingin dinyalakan itu. Sedikit percikan saja, dan BOOM!
Light upon light, nuurun ‘alaa nuur
Cahaya di atas cahaya…
Ketika cahaya fitrah di dalam hati, bertemu dengan cahaya petunjuk-Nya.

Cahaya itulah yang akan menerangi kegelapan apapun.
It’s the believers who will be the source of light in the darkest time.
Orang-orang beriman lah yang akan menjadi sumber cahaya di saat-saat paling gelap sekalipun.
Cahaya yang bukan hanya untuk kita, tapi juga untuk keluarga kita, tetangga kita, masyarakat kita.
CAHAYA UNTUK NEGERI INI….

اللَّهُ نُورُ السَّمٰوٰتِ وَالْأَرْضِ ۚ مَثَلُ نُورِهِۦ كَمِشْكٰوةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ ۖ الْمِصْبَاحُ فِى زُجَاجَةٍ ۖ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّىٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُّبٰرَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لَّا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِىٓءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ ۚ نُّورٌ عَلٰى نُورٍ ۗ يَهْدِى اللَّهُ لِنُورِهِۦ مَنْ يَشَآءُ ۚ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثٰلَ لِلنَّاسِ ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ
(QS. An-Nur 24: Ayat 35)

Sumber:

  • Ceramah Ust. Nouman Ali Khan
  • Tafsir Al-Jalalayn


Abu Qurrah December 21, 2017
Share this post
Sign in to leave a comment
We
Empat Kategori Muslim Menurut Dunia Barat
Fundamentalis | Tradisionalis | Modernis | Sekularis