Ketika membandingkan dunia dengan akhirat, Dr. Ahmad Farid dalam bukunya "Al-Bahr ur-Rā'iq fīzzuhdi Warraqā'iq" menggunakan perumpamaan es dan permata. Dan ketika menjelaskan konsep tujuan hidup kepada anak-anak, saya pun menggunakan perumpamaan ini.
Terutama ketika mereka berinteraksi dengan orang tua lain. Yang cenderung membanggakan atau mengapresiasi pencapaian anak-anak dalam hal dunia. Namun biasa-biasa aja terhadap pencapaian anak-anak dalam hal akhirat. Lalu kami (saya dan istri) membaca raut kekecewaan di wajah anak kami. Maka kami jelaskan kepada mereka mengenai es dan permata.
Kami: "Téh, A. Kalo misalnya nih, ada anak lain yang dikasih es batu se-ember sama orang tuanya. Kira-kira Tétéh sama Aa bakal iri atau berkecil hati ngga ngeliat itu?"
Mereka: "Hah? Es batu?"
Kami: "Iya es batu. Kira-kira Tétéh sama Aa bakal bilang: 'Ih, koq aku ngga dikasih es batu juga ya?' Bakal nanya gitu ngga?"
Mereka: "Ya ngga lah, Yah. Ngapain juga iri. Orang cuma es batu doang, ngga berharga. Terus bentar aja juga meleleh & mencair."
Kami: "Nah terus misalnya nih, ada anak lain lagi yang dikasih permata sama orang tuanya. Ngga usah se-ember deh, segede apel aja. Gimana?"
Mereka: "Wah... Permataa! Harganya ratusan juta atau miliaran ya Yah? Bisa beli Lego satu truck kali ya? Mau banget dan iri pastinya kita sama anak itu."
Kami: "Nah, kehidupan dunia sama kehidupan akhirat itu juga kaya gitu Téh, A. Dunia itu kaya es batu, sedangkan akhirat itu permata.
Hidup di dunia ini paling lama cuma puluhan tahun. Sedangkan di akhirat, ABADI. Dan abadi itu bukan cuma seratus tahun, bukan cuma seribu tahun, bukan cuma sejuta tahun, tapi SELAMANYA.
Harta, mobil bagus, rumah nyaman, prestasi dunia, kuliah di kampus favorit jurusan teknik, jurusan desain, kedokteran, kerja di perusahaan bagus, punya gaji banyak, jalan-jalan. Itu semua es batu. Memang sekilas itu semua berkilau. Tapi sebenernya ngga berharga, dan bentar aja meleleh dan mencair. Ngapain kita iri sama mereka yang cuma Allah kasih es batu?
'Iri'-lah sama anak lain yang hafalan Al-Qur'an nya lebih banyak dari Aa sama Tétéh. Yang shalatnya lebih rajin, selalu di awal waktu, di mesjid kalo laki-laki. Yang sedekahnya lebih banyak. Yang lebih berbakti sama orang tuanya. Yang akhlak nya lebih mulia. Yang menutup auratnya lebih sempurna (kalo akhwat).
'Iri'-lah sama orang kaya yang royal ngebelanjain hartanya di jalan Allah. Sama orang miskin yang hidupnya serba terbatas tapi ngga pernah mengeluh dan selalu bersabar.
Karena itu semua permata, yang sangat berharga, yang ngga akan meleleh dan mencair.
Itu semua kunci supaya kita bisa hidup abadi kelak di jannah nya Allah. Suatu tempat yang Allah bakal bikin-kan kita rumah, yang batu batanya aja dari emas dan perak! Pakaiannya ngga akan pernah usang. Ngga ada keributan. Ngga ada kepayahan. Allah bakal kasih kita kenikmatan-kenikmatan, yang ngga pernah dilihat mata, ngga pernah didengar telinga, dan ngga pernah terlintas di benak manusia.
Dan kita bakal tinggal di sana bukan cuma puluhan tahun. Bukan cuma ratusan tahun. Bukan cuma ribuan tahun ataupun jutaan tahun. Tapi SELAMANYA! Kita bakal terus muda belia. Selamanya ngga pernah tua.
Ayah sama ibu ngga akan bangga dan bahkan bakal sangat kecewa, kalo Tétéh sama Aa nanti kalo udah gede misalnya, punya banyak harta, tapi shalatnya bolong-bolong. Atau bahkan meninggalkan shalat sama sekali. Atau pacaran. Atau ngga nutup aurat. Bakal sedih banget ayah sama ibu.
Dan ayah sama ibu bakal bangga sama Aa & Tétéh, selama Aa & Tétéh terus memegang teguh agama Allah ini, dalam hidup Aa & Tétéh. Ngga tergantung sama jumlah uang yang Aa & Tétéh punya di rekening. Ngga tergantung Aa & Tétéh punya mobil atau ngga, bagus apa ngga. No, no, no!
Karena itu semua, cuma es batu."
Cover image by Olga Oginskaya from Pixabay