Bahasa Arab memiliki kata مَدْح (madh) ataupun ثَنَاء (tsanā’) yang artinya “pujian”. Namun yang kita gunakan untuk memuji Allah adalah kata حَمْد (hamd).
Karena حَمْد artinya bukan sekedar pujian.
Dalam kehidupan sehari-hari kita bisa memuji seseorang ataupun sesuatu tanpa cinta ataupun terima kasih, ataupun pengagungan.
Contohnya seorang maling yang lari dikejar satpam, yang akhirnya tertangkap karena kalah cepat. Mungkin akan bilang:
“Sial! Satpam ini cepet banget larinya!“
Maling ini sedang memuji sang satpam karena kecepatan larinya. Tapi apakah dia juga berterimakasih? Apakah dia mencintai sang satpam? Boro-boro kan ya.
Contoh lain. Seseorang melihat rumah minimalis yang cantik dan ciamik. Dia bilang:
“Bagus banget rumahnya!“
Orang ini sedang mengagumi & memuji rumah bagus itu. Tapi apa dia juga berterimakasih terhadap rumah itu?
Ngga kan ya.
Di dalam Bahasa Indonesia, ngga ada suatu kata yang bisa mengekspresikan pujian, rasa terima kasih, rasa cinta, dan pengagungan, sekaligus, all at once. Ngga ada.
Tapi dalam Bahasa Arab ada, yaitu حَمْد.
Di kedalaman makna hamd حَمْد, ada شُكْر (syukr; terima kasih), ada مَدْح dan ثَنَاء (pujian), ada حُبّ (hubb; cinta), serta ada تَعْظِيم (ta’zhīm; pengagungan.
Semua tercakup di dalam kata حَمْد.
Sehingga ketika kita mengatakan الحَمْدُ لله alhamdulillāh, segala puji bagi Allah, kita harus ngeh bahwa di dalamnya ada elemen pujian, rasa syukur, rasa cinta, dan pengagungan.
Sehingga nonsense kalo kita mengucapkan alhamdulilāh dengan nada mengeluh.
Dengan nada sinis terhadap kondisi yang sedang dialami. Itu bukan alhamdulillāh.
Alhamdulillāh adalah, apapun kondisi kita, susah, senang, lapang, sempit, banyak, ataupun sedikit. Kita tetap memuji-Nya, mengagungkan-Nya, mencintai-Nya, dan bersyukur atas apa yang telah diberikan-Nya kepada kita.
Alhamdulillāh ‘alā kulli hāl…
- Diambil dari bagian awal kajian kitab Syarh Lum’at ul-i’tiqād, Syaikh Uthman ibn Farooq