Pendahuluan
Ketika berbicara tentang hidup dan apa yang sebenarnya kita kejar dalam hidup, kebanyakan orang akan menjawab: “Ya ngejar supaya bahagia lah pastinya”. Begitu kata mereka. Memang ini adalah ide populer yang sudah mengakar di hati kebanyakan orang. Bahwa hidup itu, ya semata-mata untuk mengejar kebahagiaan. Menikah, supaya bahagia. Cari uang yang banyak, supaya bahagia. Punya anak, supaya bahagia. Punya mobil bagus, rumah mewah, gadget baru, main game, nonton film, liburan ke tempat eksotis, dan menikmati hiburan-hiburan lainnya, supaya kita merasa bahagia. Kebahagian telah menjadi komoditas laris yang dicari hampir semua orang di zaman ini. Sesuatu yang orang rela mengorbankan banyak hal untuk mendapatkannya. Dan banyak yang berkata: “Saya kan cuma ingin bahagia“.
Tapi apa realistis kalau kita cuma ingin bahagia, setiap saat? Padahal perasaan itu praktis lama-kelamaan hilang. Dan ketika rasa bosan dan stress datang lagi, kita butuh untuk bahagia lagi, lagi dan lagi. Terus berulang karena rasa lapar untuk bahagia, tidak bisa berhenti. Sehingga dia menjadi candu.
Padahal itu hanya akan bertahan sebentar saja. Lupa bahwa bahagia itu cuma satu dari sekian banyak perasaan dan emosi lain yang pastinya akan kita alami dalam hidup ini.
Treadmill Hedonis
Kebanyakan orang saat ini, termasuk muslim sayangnya, terperangkap dalam suatu kondisi yang riset-riset psikologi sebut sebagai treadmill hedonis. Yaitu kondisi di mana seseorang terus-menerus salah prediksi tentang apa yang sebenarnya bisa membuat dia bahagia. Dia terus mengejar sesuatu yang menurutnya dia inginkan, lalu mengerahkan segala usaha dan tenaga untuk mengejarnya, dan ketika semua itu tercapai, rasanya ternyata tidak senikmat yang dibayangkan sebelumnya.
Ternyata, letupan kesenangannya itu terasa amat singkat dan tidak mengubah level kebahagiaan jangka panjangnya. Sehingga yang terjadi adalah, justru dia malah menyesuaikan ekspektasinya ke status quo barunya. Hasilnya, dia justru makin menginginkan banyak hal untuk mempertahankan level kebahagiaan yang sama. Jadinya, dia kejar lagi level keinginan selanjutnya yang lebih tinggi. Dan ironisnya, ini tidak pernah membawa mereka ke level kebahagiaan yang lebih tinggi. Levelnya tetap sama, jalan di tempat, sekuat apapun usahanya, persis seperti treadmill [1].
Mengejar kesenangan semu seperti ini, telah membuat banyak orang kecewa dan depresi [1]. Kita bahkan menyaksikan begitu banyak orang terkenal yang kaya raya seperti artis dan musisi, dengan hidupnya yang glamor, justru berakhir dengan bunuh diri. Dan ini terjadi karena mereka tidak paham dan tidak bisa membedakan antara merasa bahagia, dan merasa cukup. Dua hal yang sangat berbeda. Karena, yang pertama hanya bisa memberikan ilusi kesenangan sementara, sedangkan yang kedua, bisa memberikan kedamaian hati, hidup yang bermakna, dan kekuatan jiwa yang bisa bertahan dalam waktu lama.
Kebahagiaan yang Sesungguhnya
Banyak orang yang mencoba mencari kebahagiaan, tapi tidak sadar bahwa kebahagiaan yang sesungguhnya, ada di dalam hati mereka. Bahwa kebahagiaan yang nyata hanya bisa dicapai dengan hati yang selalu merasa cukup. Rasulullah ﷺ bersabda,
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
“Kekayaan itu bukanlah dengan banyaknya harta, melainkan dengan hati yang selalu merasa cukup.“(Shahih al-Bukhari No. 5965)
Ibnul Qayyim rahimahullah, ketika mendeskripsikan kehidupan gurunya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, mengatakan bahwa beliau tidak pernah melihat seorang pun yang lebih bahagia hidupnya daripada guru beliau itu. Padahal kondisi kehidupannya sangat susah, jauh dari kemewahan dan kesenangan duniawi, bahkan sangat memprihatinkan.
Belum lagi siksaan dan penderitaan yang beliau alami berupa siksaan dalam penjara, ancaman dan penindasan dari musuh-musuh beliau. Meskipun demikian, Ibnul Qayyim rahimahullah mendapati guru beliau tersebut adalah salah seorang yang paling bahagia hidupnya, paling lapang dadanya, paling tegar hatinya dan paling tenang jiwanya. Terpancar pada wajah beliau sinar kenikmatan hidup yang beliau rasakan [2]. Inilah kebahagiaan yang sesungguhnya.
Hati yang selalu merasa cukup, bagaimanapun kondisi hidup yang sedang dihadapi, adalah kunci untuk mencapai kebahagiaan yang sesungguhnya. Sedangkan hati yang selalu lalai terhadap peringatan Allah, yang mencoba untuk mencari kebahagiaan di dalam kemewahan dan kesenangan dunia, hanya akan menemukan kehidupan yang sempit dan penuh dengan depresi. Allah ﷻ berfirman,
وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُۥ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُۥ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَىٰ
“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh, dia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.”(Surah Ta Ha: 124)
Malik bin Dinar rahimahullaah berkata, “Tidak ada kelezatan selezat mengingat Allah.” [3]
Al Hasan al-Bashri rahimahullaah mengatakan, “Carilah kenikmatan dalam tiga hal, dalam shalat, berzikir dan membaca Al-Quran. Jika tidak kalian dapatkan dalam tiga hal itu maka sadarilah bahwa pintu kebahagiaan yang sesungguhnya sudah tertutup.” [3]
Dan Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, bahwa ada tiga tanda kebahagiaan yang sesungguhnya [2]:
- Bersyukur ketika mendapatkan nikmat
- Bersabar ketika mendapatkan kesulitan hidup
- Bertaubat ketika terjerumus di dalam dosa
Kesimpulan
Oleh karena itu, seorang mu’min tidak seharusnya terjebak dalam ilusi mengejar kebahagiaan palsu di dalam hidupnya. Karena itu hanya akan mengantarkan mereka kepada kehidupan tak pernah puas, kekecewaan, dan depresi, yang tak berujung. Sebagai gantinya, seorang mu’min harus mencari kebahagiaan sesungguhnya di dalam hati yang selalu merasa cukup. Hati yang tenang. Dan hanya dengan mengingat Allah-lah, hati kita mendapatkan ketenangan. Sesuatu yang bisa memberikan kedamaian jiwa, hidup yang bermakna, dan kekuatan untuk menghadapi setiap kesulitan.
Referensi
- Don’t let the pursuit of happiness keep you down – Rethinking the American dream. Angie LeVan. Retrieved June 5, 2020.
- Al waabil-us sayyib min-al kalim-ith Thayyib. Ibnul Qayyim.
- As sa’aadatu – haqiiqatuhaa, suwaruhaa, asbaabu tahsiilihaa. Al Qism-ul ‘ilmiy bidaar-il wathan.