INOVASI. Sekilas mendengar kata ini tentunya kebanyakan dari kita bakal menganggap kata ini berkonotasi positif. Karena pasti yang terbayang adalah inovasi-inovasi sains dan teknologi, yang membentuk abad ini. Listrik, internet, mobil, eksplorasi migas, satelit, you name it. Sesuatu yang rasanya setiap manusia di zaman ini tidak mampu hidup tanpanya. Dan ilmuwan, akademisi, praktisi teknologi, atau perusahaan yang menemukannya pun akan sangat dihargai dan dihormati atas inovasi yang dia temukan.
Tapi tulisan ini tidak akan membahas itu. Saya akan membahas inovasi yang justru negatif.
Yaitu inovasi dalam memahami dan menjalankan kebenaran agama. Simply speaking, Innovation in Religion.
Wow, that’s may sounds unpleasant. Sebagian dari pembaca mungkin sudah mau balik kanan, dan mau men-skip tulisan ini, karena tulisan ini pasti mau bahas masalah bid’ah. Dan pembahasan masalah bid’ah, untuk kebanyakan muslim, bukan topik favorit. Makanya tulisan ini, saya beri judul ‘Innovation’ instead of bid’ah. Dan para penemunya, akan disebut ‘people of innovation’ instead of ahlul bid’ah. Supaya tidak terdengar terlalu pahit. Sehingga yang tadinya mau balik kanan, mungkin akhirnya memutuskan untuk terus membaca, hehe…
Dan jangan salah sangka dulu. Saya ngga bakal membahas topik-topik hot yang ada saat ini, bahwa sesuatu itu bid’ah atau bukan. Nope. Karena saya pun ngga punya qualifikasi yang cukup untuk membahas itu.
Jadi apa dong yang mau dibahas di tulisan ini?
Sabar. Jawabannya akan semakin terang seiring pembaca terus membaca, hehe…
Saya ingin memulai dengan sebuah pengamatan tentang apa yang menjadi problematika atau tantangan yang harus dihadapi seorang muslim di zaman ini. Di satu sisi, muslim saat ini terjebak di tengah perselisihan antar golongan-golongan. Menyaksikan umat terpecah-belah. Sementara musuh-musuh Islam bisa dengan leluasa menghancurkan negeri-negeri muslim, mengobok-obok dan mengobrak-abrik barisan yang sudah terpecah itu. Dan kita harus terseok-seok menyatukan umat ini dalam satu barisan.
Di sisi yang lain, kita hidup di zaman penuh fitnah dimana kebanyakan muslim tidak hidup berdasarkan apa yang dicontohkan Rasulullah ﷺ. Dan juga ada 1400 tahun lebih terbentang antara kita dengan Rasulullah ﷺ. Kita tidak bisa bertanya langsung kepada beliau ﷺ . Dan ada banyak sekali rentetan ulama-ulama di sepanjang 1400 tahun itu, hingga sekarang. Yang seringkali memiliki pendapat yang berbeda. Sehingga untuk mengetahui mana yang benar dan layak diikuti, kita harus mengerahkan segala potensi, melakukan usaha terbaik untuk mencari, meneliti, dan mempelajari pendapat yang paling mendekati kebenaran. Lalu berjalan konsisten di atasnya. Dengan resiko terasing dari muslim yang lain, atau bahkan di-branding dengan berbagai jenis merk (yang tidak akan saya sebutkan di sini).
Dua hal yang seringkali kita tidak tahu, mana yang harus diprioritaskan lebih dulu. Antara mempertahankan persatuan, atau menjaga kemurnian ajaran agama.
Dan lagi-lagi saya pun tidak memiliki qualifikasi untuk menjawab itu.
Untuk masalah yang pertama, saya pikir tidak perlu dijelaskan lebih lanjut mengapa ini suatu hal yang penting untuk dicari solusinya, it’s common sense bahwa untuk memperoleh kekuatan yang besar, untuk melawan musuh yang kuat, pastilah dibutuhkan persatuan. Seperti halnya para pahlawan bangsa ini yang bersatu melawan penjajah.
Tapi untuk masalah yang kedua, saya melihat tidak semua muslim melihat ini sebagai masalah yang penting. Inovasi dalam agama seringkali tidak dianggap sebagai hal yang berbahaya. Sehingga ekspresi-ekspresi seperti ini sering kita saksikan:
“Caelah… masa gitu aja bid’ah?”
Atau,
“Ini bid’ah, itu bid’ah, sekalian aja bid’ah-in mobil terus naek onta sana!”
Atau,
“Kita ini sedang menghadapi masalah besar, sedang digempur musuh, masa malah ngebahas masalah bid’ah sih?”
Dan ekspresi-ekspresi yang lainnya.
Sehingga dalam tulisan ini, saya ingin menyajikan beberapa informasi sehingga pembaca bisa sedikit mencicipi bahaya inovasi dalam agama. Saya akan mengajak pembaca untuk piknik ke abad silam, untuk menyaksikan bagaimana inovasi dalam beragama bisa mengubah suatu ajaran kebenaran yang mulia, yang murni dari Pencipta Langit dan Bumi, menjadi suatu ajaran yang penuh dengan modifikasi manusia. Yang mengubah kebenaran bahwa Tuhan itu satu, menjadi tiga. Yang mengubah status seorang utusan, menjadi Tuhan. Yang awalnya menjalankan syariat Nabi Musa ‘alayhissalam, menjadi suatu ajaran tanpa syariat dimana kebaikan hanya sekedar iman tanpa ketaatan.
Ya. Saya akan menceritakan sedikit informasi sejarah para pengikut Nabi ‘Isa ‘alayhissalam. Di masa-masa awalnya. Diambil dari sebuah buku berjudul “Jesus – Man, Messenger, Messiah” oleh Abu Zakariya, dan ditambah dengan beberapa informasi dari buku Kisah Para Nabi oleh Ibnu Katsir. Tentu saja yang akan dibahas adalah garis besarnya saja, tanpa referensi-referensi detil yang terdapat di dalam bukunya.
Seperti yang mungkin sudah kita tahu, Nabi ‘Isa ‘alayhissalam diutus kepada Bani Israil yang hidup di abad ke-1 Palestina. Beliau tidak membawa hukum/syariat baru, karena beliau berhukum dengan syariat Nabi Musa ‘alayhissalam. Lalu kalau tidak membawa syariat baru, apa yang salah dengan Bani Israil sehingga beliau diutus?
Ada suatu masalah serius pada saat itu dengan standard ‘amal shalih’ yang dicontohkan para pemuka agama mereka, para ulama-ulama mereka. Inti permasalahannya adalah karena standard ‘amal shalih’ mereka defektif / cacat, karena hanya fokus pada tampilan luar saja. Bagi orang-orang yang melihat, mereka kelihatan seperti taat kepada syariat, tetapi sebenarnya cacat secara internal, a.k.a. munafiq. Indah di luar, kotor di dalam. Sehingga agama sekedar menjadi pertunjukkan bagi orang-orang. Riya’, bukan tulus karena Allah. Menyuruh orang lain berbuat baik dalam dakwahnya, sedangkan dirinya sendiri tidak melaksanakannya. Terlalu fokus pada ibadah ritual, melupakan ibadah sosial. Menjalankan sebagian perintah Taurat, meninggalkan sebagian yang lain. Sehingga Nabi ‘Isa ‘alayhissalam hanya me-refresh pemahaman yang lebih menyeluruh dan lebih dalam terhadap syariat yang ada. Agar mereka menjalankan syariat secara kaffah / menyeluruh.
Hal ini tentu saja dibenci oleh para pemuka agama Bani Israil, karena mereka merasa sebagai orang yang paling berilmu, yang paling paham Taurat, dan kesombongan mereka itu telah menutup kebenaran yang dibawa Nabi ‘Isa ‘alayhissalam.
Pengikut Nabi ‘Isa pada masa paling awal, mu’min di waktu itu, adalah seorang yang taat kepada syariat Nabi Musa ‘alayhissalam (taat pada hari Sabbat, menjaga makanan halal [kosher], disunat bagi laki-laki, shalat, dan sebagainya). Dan mereka adalah minoritas dari kalangan Bani Israil. Sehingga pada masa itu, agama Nasrani hanyalah sebuah gerakan di dalam agama Yahudi, bukan sebuah agama terpisah. Mereka menyembah satu Tuhan dan meyakini Nabi ‘Isa sebagai utusan-Nya. Kebanyakan dari mereka adalah orang miskin. Oleh karena itulah mereka seringkali disebut Ebionites (dari bahasa Ibrani Ebyonim, yang artinya ‘mereka yang miskin’).
Setelah Nabi ‘Isa ‘alayhissalam diangkat oleh Allah ke langit, diselamatkan dari kejaran orang-orang Yahudi yang ingin membunuhnya, atas perintah Raja Dawud bin Yura, terpecahlah pengikut-pengikutnya menjadi golongan-golongan.
Muncullah seorang ‘people of innovation‘ bernama Paulus, atau Paul atau Saul of Tarsus (Saul dari Tarsus), seorang Bani Israil dan juga warga Kerajaan Roma, yang akan mengubah arah agama Nasrani untuk selamanya, dengan inovasi agama yang dibawanya. Awalnya, pada masa Nabi ‘Isa ‘alayhissalam masih ada, dia adalah seseorang yang membenci dan sangat intens menganiaya pengikut Nabi ‘Isa ‘alaihissalam. Menurut Ibnu Katsir, Paul dibuat buta oleh malaikat yang memukul wajahnya ketika dia hendak menghadang Nabi ‘Isa ‘alayhissalam dan pengikutnya yang hendak pergi ke Damaskus. Setelah melihat sendiri bahwa Nabi ‘Isa ‘alayhissalam ditolong oleh malaikat, dia kemudian beriman kepada Nabi ‘Isa ‘alayhissalam dan menjadi pengikutnya. Di kemudian hari penglihatannya pun kembali. Lalu bagaimana inovasi agama itu terjadi?
Sepeninggal Nabi ‘Isa ‘alayhissalam, Paul mulai berdakwah dan mengajarkan ajaran Nabi ‘Isa ‘alayhissalam kepada non-Yahudi (Gentiles). Orang-orang non-Yahudi ini memiliki latar belakang budaya paganisme karena wilayahnya memang dikuasai oleh Kekaisaran Romawi yang memiliki kepercayaan Yunani kuno dengan dewa-dewinya (Zeus, Hermes, Aphrodite, Jupiter, dan sebagainya). Agama Nasrani yang asalnya hanya sebuah kelompok minoritas di dalam agama Yahudi, akhirnya berkembang menjadi besar karena kemudian dianut oleh sejumlah banyak non-Yahudi.
Ada dua inovasi yang kemudian muncul karena masuknya pemeluk non-Yahudi ini. Yang pertama adalah penghapusan syariat Nabi Musa ‘alayhissalam, dan yang kedua adalah konsep ‘anak Tuhan’.
Tentunya ketika seorang non-Yahudi memeluk agama Nasrani, muncul sebuah pertanyaan: apakah mereka juga harus menjalankan syariat Nabi Musa ‘alayhissalam seperti halnya Bani Israil? Seorang laki-laki non-Yahudi yang baru memeluk agama Nasrani misalnya, pastilah ingin dapat dispensasi dari syariat untuk disunat. Perbedaan pendapat pun muncul di kalangan pengikut Nabi ‘Isa ‘alayhissalam. Ada yang berpendapat bahwa non-Yahudi juga harus disunat dan harus mengikuti syariat Nabi Musa ‘alayhissalam. Yang lain berpendapat tidak perlu. Dan akhirnya pendapat James (saudara Nabi ‘Isa ‘alayhissalam) yang diambil , dan merupakan jalan tengah. Bahwa non-Yahudi yang kembali kepada Tuhannya yang benar, tidak seharusnya dipersulit. Mereka tidak perlu disunat dan tidak perlu melaksanakan syariat Nabi Musa secara penuh, tetapi mereka harus menjauhkan diri dari memakan makanan yang diberikan untuk berhala, mengkonsumsi darah, mengkonsumsi daging binatang yang tercekik atau ditemukan sebagai bangkai, dan dari imoralitas seksual. Ini adalah jalan tengah yang sangat reasonable, karena di satu sisi memang syariat Nabi Musa ‘alayhissalam memang hanya untuk Bani Israil, tetapi juga tidak mengabaikan sepenuhnya pentingnya suatu hukum atau syariat. Jalan tengah ini pun diambil berdasarkan petunjuk dari ayat-ayat Perjanjian Lama yang berlaku untuk orang asing (non-Yahudi) yang tinggal bersama Bani Israil. Pendapat ini disetujui oleh semua pihak, termasuk Paul. Dan keputusan resmi pun dikeluarkan oleh Dewan Yerusalam (Jerusalem Council).
Namun demikian, beberapa lama setelah keputusan itu, Paul mulai mengajarkan sesuatu yang berbeda jauh dari apa yang telah disetujui. Bahwa kebaikan tidak dinilai dari ketaatan terhadap syariat, tapi dari keimanan kepada Nabi ‘Isa. Dan ini berujung pada ditinggalkannya seluruh syariat Nabi Musa ‘alayhissalam oleh para pengikut Paul. Dan ini bukan hanya berlaku untuk non-Yahudi, tapi juga untuk Bani Israil. Sehingga tidak ada lagi perbedaan Yahudi dan non-Yahudi, ajarannya berlaku umum. Awal sebuah inovasi besar sedang terjadi di sini.
Yang kedua adalah mengenai ‘anak Tuhan’. Bagi seseorang dengan latar belakang budaya paganisme (politheisme) yang mempercayai dewa-dewi Yunani Kuno, tentu mereka tidak asing dengan mitos dan kisah dimana para dewa mereka mengawini manusia dan melahirkan manusia setengah dewa. Macam Zeus yang mengawini seorang wanita bernama Danae, sehingga lahir Perseus yang setengah manusia, setengah dewa. Atau juga Hercules dan lainnya. Kepercayaan bahwa dewa bisa berubah wujud menjadi manusia atau bahwa ada anak dewa atau manusia setengah dewa, adalah kepercayaan yang populer bagi mereka. Dengan latar belakang semacam ini, ketika para penganut Nasrani non-Yahudi (Gentile) melihat frase kata “budak Tuhan” di dalam teks-teks Yahudi, tentunya mudah sekali terjadi kesalahpahaman. Ketika konsep “budak Tuhan” dalam konteks monotheistik Yahudi, di-ekspor ke seseorang dengan latar belakang pagan. Sehingga mereka menelannya secara harfiah sebagai “anak Tuhan” sebagaimana anak dewa dalam kepercayaan mereka.
Padahal bukan hanya Nabi ‘Isa ‘alayhissalam yang disebut “budak Tuhan” dalam Perjanjian Lama, Nabi Musa ‘alayhissalam pun disebut “budak Tuhan”, para malaikat pun disebut “budak Tuhan”, begitu pula Nabi Adam ‘alayhissalam, dan bahkan semua orang yang membuat kedamaian disebut “budak Tuhan”. Karena memang konteksnya budak itu adalah hamba, bukan anak seperti anak biologis. Tetapi dengan latar belakang paganisme inilah, kata “budak Tuhan” itu telah bergeser menjadi “anak Tuhan”. Sebuah inovasi yang sangat-sangat buruk. Dan inilah cikal bakal konsep trinitas pada agama Nasrani modern.
Hal ini menjadi sesuatu yang bahkan lebih besar lagi ketika pengikut Paul yang awalnya hanya golongan minoritas kemudian berkembang menjadi golongan mayoritas atau golongan ‘yang menang’, karena beberapa faktor. Yang pertama adalah hancurnya Jerusalem Temple pada tahun 70 M oleh Kerajaan Romawi, sesuatu yang sangat menghancurkan bagi kaum Nasrani Jerusalem (kaum Nasrani Yahudi yang mengikuti ajaran Nabi ‘Isa ‘alayhissalam). Yang kedua, kebebasan tanpa syariat yang ditawarkan oleh ajaran Nasrani Paul sangat menarik bagi banyak Gentile dengan latar belakang pagan, dibanding Nasrani Yahudi yang ketat dengan syariat. Walaupun mereka (pengikut Paul) masih merupakan minoritas bagi populasi Kerajaan Romawi. Hingga tahun 300 M, mereka hanya sekitar 10% dari total populasi. Sampai titik ini mereka sering menjadi objek penganiayaan dan pemaksaan untuk berkorban untuk dewa-dewa Romawi dan bahkan harus dipenjara dan dieksekusi.
Titik balik dari semua itu adalah berkuasanya Kaisar Constantine. Karena dialah yang kemudian mendukung agama Nasrani, membiayai gereja, menghapus pajak bagi para biarawan, mengangkat orang Nasrani ke posisi yang tinggi di kerajaan. Sejak inilah, agama Nasrani menjadi agama legal di Kerajaan Romawi, bersanding dengan paganisme. Awal abad ke-4 masehi menjadi momen-momen paling menentukan yang membentuk agama Nasrani ratusan tahun mendatang. Ketika diadakan debat antara uskup dari 2 golongan gereja. Uskup Athanasius yang mengusung konsep trinitas, dan Pendeta Arius yang mengusung konsep bahwa Yesus adalah ciptaan Tuhan. Para pengikutnya disebut golongan Trinitarianisme dan Arianisme. Dua golongan ini sama kuat dan telah membagi populasi agama Nasrani di Kerajaan Romawi menjadi dua golongan yang saling beroposisi.
Kaisar Constantine tidak menyukai kondisi ini dan bermaksud untuk menyatukan gereja yang sudah terpecah. Walaupun Kaisar Constantine sebenarnya tidak tertarik untuk mencari kebenaran kemurnian agama, karena usahanya semata-mata untuk memastikan kestabilan politik kerajaannya. Sehingga dibentuklah Council of Nicea (pada tahun 325 M). Perdebatan yang terjadi menghasilkan tiga golongan yaitu, Arianisme garis lurus (strict Arian), semi-Arianisme dan Trinitarianisme garis lurus (strict Trinitarian). Arianisme garis lurus dan Trinitarianisme garis lurus hanya minoritas, karena sebagian besarnya mengambil posisi di tengah yaitu semi-Arianisme. Semi Arianisme ini menolak doktrin Trinitarianisme dimana Tuhan Bapak, Sang Anak, dan Roh Kudus adalah substansi yang sama / satu. Namun kemudian justru Kaisar Constantine menyetir arah diskusi, dengan segala pengaruh kekuasaannya, ke arah anti-Arianisme. Sehingga sebagian besar yang berada di tengah yang tidak mengambil posisi secara tegas (semi-Arianisme), kemudian malah bergeser menjadi anti-Arianisme.
Tujuan akhir dari council ini jadi bergeser dari mencari kompromi, menjadi penolakan terhadap Arianisme. Oleh karena tidak ada basis teks agama yang bisa digunakan untuk melakukan itu, maka dikeluarkanlah suatu creed (semacam fatwa) yang secara spesifik mengeluarkan Arianisme dari kepercayaan agama Nasrani. Para anti-Arianisme ini ingin memasukan konsep bahwa Yesus memiliki substansi yang sama dengan Tuhan (homo-ousios), sebagai bagian dari aqidah resmi gereja, walaupun tanpa basis biblikal. Sehingga dibuatlah Nicene Creed yang melegalkan dan meresmikan doktrin ini. Tentu saja Arius dan pengikutnya menolak habis-habisan. Pada titik ini, Kaisar Constantine mengancam bahwa siapapun yang tidak mau menandatangani Nicene Creed akan diasingkan dan dibuang. Arius dan dua orang uskup dari Libya tetap menolak untuk menandatanganinya, sehingga ketiganya diasingkan dan dibuang.
Namun rupanya, Council of Nicea tidak mengakhiri kontroversi yang terjadi. Begitu banyak uskup yang menentang konsep homo-ousios. Dan perdebatan terus berlanjut sehingga menghasilkan tidak kurang dari 14 tambahan creed antara tahun 340 hingga 360 M. Penguasa sepeninggal Kaisar Constantine, yaitu anak-anaknya, Constans yang menguasai wilayah barat, dan Constantius yang menguasai wilayah Timur, telah mempertajam kontroversi ini. Kaisar Constans mendukung para pendukung Nicea, dan Kaisar Constantius bersama para anti-Nicea. Sehingga perbedaan pandangan teologi, kini telah menjadi koflik politik.
Dengan meninggalnya Kaisar Constans pada tahun 350 M, saudara anti-Nicea nya Constantius menjadi penguasa satu-satunya Kerajaan Romawi. Pada tahun 359 M, dia memanggil dua council, satu di timur (di Seleucia) dan satu lagi di barat (di Rimini). Kali ini jumlah uskup yang datang lebih banyak dibanding Council di Nicea, sehingga lebih mewakili seluruh gereja. Seperti halnya ayahnya Constantine, dia pun berusaha menyetir diskusi yang ada. Sehingga anti-Nicea dan pendukung Arianisme unggul. Sehingga kini Kerajaan Romawi mengadopsi Arianisme yang anti Trinitarianisme.
Namun demikian, kemenangan Arianisme ini berumur pendek. Pada tahun 381 M, dibentuklah Council of Constantinople oleh Kaisar Theodosius I. Tujuan utama council ini adalah untuk mengembalikan doktrin yang dibentuk pada Nicene Creed. Mereka melakukannya dengan membuat creed yang baru dengan merevisi beberapa bahasa yang kontroversial. Dan Council of Constantinople ini telah mengakibatkan adopsi secara final terhadap kepercayaan Nicea oleh seluruh gereja. Dan perlu dicatat bahwa Nicean Creed hanya menyatakan tentang substansi Yesus yang sama dengan Tuhan. Creed itu tidak membahas objek ke tiga dalam trinitas yaitu Roh Kudus. Mereka hanya mengatakan bahwa mereka mengimani Roh Kudus, itu saja. Tetapi Council of Constantinople menegaskan ulang konsep Nicene Creed yang disertai dengan doktrin Trinitas yang di dalamnya ada Roh Kudus. Sehingga ketiga entitas itu (Tuhan Bapak, Sang Anak, dan Roh Kudus) kini secara formal memiliki status dan kedudukan yang sama.
Dengan itu, Arianisme secara resmi menjadi sekte sesat dan bukan bagian dari agama Nasrani. Dan ia tidak dipadamkan oleh bukti-bukti kebenaran, melainkan oleh keterlibatan penguasa. Setelah lebih dari 55 tahun perselisihan, Nicene Creed akhirnya unggul secara permanen. Kurang lebih 400 tahun setelah masa Nabi ‘Isa ‘alayhissalam, trinitas akhirnya menjadi doktrin resmi yang diadopsi oleh Gereja Katolik Roma. Dan diwariskan terus-menerus hingga saat ini.
Begitulah…
Kita semua bisa melihat bagaimana sebuah inovasi dalam agama bisa berkembang tak terkendali seiring zaman berganti. Sebuah inovasi kecil, bisa berkembang menjadi inovasi besar yang sangat buruk. Kita pun bisa melihat bagaimana sekelompok minoritas “people of innovation“, akhirnya bisa menjadi mayoritas karena andil penguasa. Dan bagaimana akhirnya ketika yang mendominasi adalah para “ahlul bid’ah wal jama’ah“.
Dari sini kita bisa belajar, bahwa menjaga kemurnian agama ini adalah sesuatu yang sangat penting. Menjaganya agar tidak terkontaminasi inovasi yang bisa berkembang tak terkendali.
Dari sini kita mungkin bisa belajar, bahwa persatuan bukanlah satu-satunya tujuan. Karena Kaisar Constantine pun mengejar persatuan umatnya. Namun, karena tujuannya hanya politik, golongan yang membawa kebenaran akhirnya tersisih dan punah.
Mungkin pun kita bisa belajar, bahwa menjaga persatuan dan menjaga kemurnian agama harus dilakukan bersama-sama, dengan prioritas tinggi yang sama. Sesuatu yang sangat sulit pastinya.
Tetapi itu mungkin satu-satunya cara. Sehingga kita layak disebut Ahlus Sunnah, yang Berjama’ah.
Wallahu a’lam…. Allah Knows Best.
Ditulis oleh: Eka Pratama
Referensi:
- Jesus – Man, Messenger, Messiah (Abu Zakariya)
- Kisah Para Nabi (Imam Ibnu Katsir)