We

Ketika Truth Seeker Memilih untuk Bertaqlid | Bagian 1

Seeing is believing. Percaya itu harus melihat. Kebenaran harus make sense, logis dan bisa dijilat. Begitulah yang ada di benak saya dulu.

Seeing is believing. Percaya itu harus melihat. Kebenaran harus make sense, logis dan bisa dijilat. Begitulah yang ada di benak saya dulu. Mungkin karena darah ilmuwan yang mengalir di dalam tubuh ini. Dulu karakter truth seeking (pencarian kebenaran) saya bisa dibilang lumayan liar. Mungkin karena terpengaruh oleh sosok-sosok yang saya ikuti dan kagumi waktu itu, seperti Bill Nye, Michio Kaku, Carl Sagan, dan lain-lain.

Sehingga pemikiran yang muncul di dalam kepala, seringkali cukup liar. Seperti misalnya mempertanyakan eksistensi Tuhan dan kebenaran agama. Bahkan dulu saya getol nonton seri “Ancient Alien” dan sangat nge-fans dengan teori “Ancient Astronout“, yang salah satunya mengatakan bahwa manusia di bumi itu “di-engineered” oleh alien, hehe. Dulu saya terobsesi sekali dengan film-film bergenre ini, macam film Prometheus (2012).

Begitu pula pertanyaan-pertanyaan tentang Al-Qur’an dan kebenaran Islam yang sudah saya ceritakan di dalam tulisan Perjalanan Mencari Kebenaran dan juga bukunya.

Sehingga ketika melihat di mana saya berpijak saat ini, lalu menengok ke belakang beberapa tahun yang lalu, saya selalu kehabisan kata-kata untuk mengungkapkan betapa bersyukurnya saya kepada Allah, yang telah memberikan هدى , yang menuntun saya, selangkah demi selangkah, dalam menemukan kebenaran. Sehingga kebenaran, benar-benar nampak jelas. Luar biasa jelas. Seperti menyaksikan laut yang terbelah di depan mata. Sesuatu yang menghujamkan keyakinan yang kokoh dan tak tergoyahkan.

Di saat yang sama, meskipun seluruh pengalaman dengan mukjizat Al-Qur’an itu adalah sesuatu yang logis, Al-Qur’an mengajarkan kita untuk mengedepankan iman. Tanpa harus mengabaikan logika. Karena iman membutuhkan akal. Dan akal bukanlah logika tanpa batas. Akal adalah logika yang tunduk dan rendah hati.

Sahabat-sahabat mungkin bertanya, kenapa harus begitu?

Pertama, kalau kita hanya mengandalkan iman aja, tanpa logika, maka kita akan menjadi seseorang yang bertaklid buta. Blindly following something. Kebenaran hanya sebatas “pokoknya”. Pokoknya begini, pokoknya begitu. Ketika ada seseorang di masa lalu yang mengubah dan mengobok-obok kebenaran itu, mencampurkannya dengan kebohongan, kita tidak akan tahu. Karena kita hanya akan percaya begitu aja.

Kedua, kalau kita hanya mengandalkan logika, bahwa segala hal itu harus bisa dijelaskan secara logis, maka ketahuilah sahabat, bahwa logika kita itu ada batasnya. Realitas yang ada di alam semesta ini tidak selamanya logis bagi pikiran manusia yang kecil ini.

Saya akan kasih contoh, misalnya tentang ruang. Kita harus menerima kenyataan bahwa otak kita mentok di ruang 3 dimensi. Panjang, lebar, tinggi, that’s it.

  • Membayangkan 1 dimensi, yaitu garis, misalnya sumbu x, ngga ada masalah.
  • Membayangkan 2 dimensi, yaitu bidang, yang terdiri dari sumbu x dan sumbu y, dimana sumbu y tegak lurus terhadap sumbu x, juga ngga ada masalah.
  • Membayangkan 3 dimensi, seperti ruang kita hidup sekarang, yang terdiri dari sumbu x, y, dan z, dimana semua sumbunya saling tegak lurus, pastinya juga ngga ada masalah.
  • Tapi bisakah kita membayangkan satu lagi sumbu tambahan yang tegak lurus terhadap sumbu x, y, dan z? Sehingga terbayang ruang 4 dimensi?

Mentok kan ya. Padahal, di dalam matematika, mau sampai dimensi berapapun, bisa di-ekspresikan dalam bentuk operasi matrix. Tapi “Processor” di dalam otak kita udah mencapai batasnya sehingga satu tambahan dimensi aja, udah tidak bisa dibayangkan. Lalu ketika membayangkan dimensi ke-4 aja ngga mampu, sombong sekali kita ngawang-ngawang membahas sesuatu yang far beyond that, realitas yang jauh lebih kompleks dari itu, hanya mengandalkan logika semata, tanpa data?

Dan bukan hanya keterbatasan logika kita aja yang jadi masalah, tapi juga keterbatasan data yang kita miliki. Meskipun data itu sekarang seolah terlihat sudah melimpah ruah tersedia di dalam sains. Tapi sebenarnya tetap saja masih sangat terbatas. Mungkin banyak yang terjebak dengan pemahaman bahwa sains itu sama dengan realitas. Padahal sains hanyalah pengetahuan akumulatif yang dimiliki manusia hingga saat ini, dan merupakan usaha terbaik manusia dalam memahami realitas. Sains terus berubah seiring pemahaman terhadap realitas menjadi lebih baik, dan lebih baik lagi. Sains memiliki keterbatasan karena hanya mengandalkan panca indra, plus bantuan alat-alat untuk mempertajam indra tersebut. Sedangkan realitas, is far more than that.

Sekarang bayangkan jika kita hanya mengandalkan logika terbatas yang miskin data itu, untuk memahami suatu realitas yang jauh di atas kapasitas yang bisa diprosesnya. Data yang miskin aja sudah cukup untuk membuat kesimpulan yang salah. Garbage in, garbage out. Lalu apa jadinya kalau dikombinasikan dengan logika atau kemampuan memproses data yang minim?

Ada sebuah analogi yang membuat saya dulu mengangguk-angguk setuju, saat masih menerapkan prinsip “I believe it when I see it” (saya hanya akan percaya ketika melihat langsung).

Analoginya begini. Misalnya kita sedang menyetir mobil di jalan tol. Dan kondisi jalannya lancar jaya. Super lancar, tidak ada macet sama sekali. Mantap lah pokoknya. Sampai-sampai hampir tidak ada mobil di depan kita, meskipun kita sudah tancap gas. Lalu tiba-tiba kita dengar di radio bahwa 5 kilometer di depan kita ada sebuah kecelakaan yang menyebabkan kemacetan yang sangat-sangat parah yang berpotensi menghambat kita berjam-jam. Jika ada gerbang tol keluar terdekat, maka keluarlah. Begitu kata berita di radio.

Apakah kita melihat kecelakaannya? Ngga kan ya.
Tapi apakah kita akan mengikuti sarannya untuk keluar di gerbang tol terdekat?
Pastinya kita akan memutuskan untuk keluar, karena ini bisa membuat kita terlambat berjam-jam.
Kenapa ya?
Padahal kita ngga melihat kecelakaannya secara langsung.
Tentunya karena berita di radio berasal dari sumber yang bisa dipercaya. Sang reporter melihat sesuatu yang kita tidak bisa melihatnya, dan kita percaya kepada sang reporter.

Ngga mungkin kan kita bilang, “Ah…sebodo amat berita di radio. I believe it when I see it“, dan kita tancap gas aja lurus terus. Dan akhirnya terjebak dalam kemacetan, dan akhirnya kita bilang, “Ahhhh…sekarang saya baru percaya”, ternyata benar ada kecelakaan. Hehehe. Tapi udah ngga ada gunanya lagi percaya sekarang.

Poinnya adalah, Allah telah menciptakan manusia dengan kemampuan untuk berpikir dan memahami sesuatu, meskipun mereka tidak bisa melihatnya. Binatang tidak seperti ini.

Ketika misalnya di sebuah gedung, ada kebakaran. Lalu pihak Security membuat pengumuman untuk meninggalkan gedung melalui pintu emergency. Kita, manusia, pasti akan mengikuti perintah dan segera keluar melalui pintu itu. Tapi kalau misalnya di gedung itu ada kucing, lalat, semut, or binatang lain, mereka tidak akan keluar. Kenapa? Karena mereka tidak punya kemampuan untuk memahami kata-kata.

Tapi ketika binatang melihat langsung apinya, melihat langsung bahayanya, akankah mereka pergi?
Yup.
Binatang hanya akan bertindak ketika melihat.

Tetapi manusia bisa bertindak ketika dia memahamiWe don’t need to see to believe. Kita tidak perlu melihat langsung untuk percaya. Manusia bisa berpikir dan menggunakan akalnya. Ketika kita percaya hanya kalau melihat langsung, itu artinya kita sedang bertidak seperti kambing, seperti sapi, bukan selayaknya manusia.

Keimanan yang dilengkapi akal sehat, itulah yang kita butuhkan. Sehingga meskipun logika tetap digunakan, tetapi tidak didewakan. Logika dipakai sesuai keperluannya. Ketika berhadapan dengan wahyu yang terlihat seperti bertentangan dengan logika, maka keimanan lah yang harus memegang kendali, bukan logika. Karena wahyu datang dari Dia yang menciptakan alam semesta ini. Dia Yang Maha Mengetahui dan mempunyai data super lengkap mengenai ciptaan-Nya, hingga sedetil-detilnya.

Sehingga ketika akal sehat kita sudah merasakan betapa dahsyatnya mukjizat di dalam Al-Qur’an, yang menunjukkan bahwa kitab ini tidak mungkin dibuat manusia, dan hanya bisa berasal dari Yang Menciptakan alam semesta, maka ketika berhadapan dengan perintah-Nya, tidak ada lagi tawar menawar logika. Logika harus tunduk setunduk-tunduknya. Sami’naa wa atho’naa. Kami dengar, dan kami taat, itu saja.

Berlanjut di Part 2, insyaaAllaah…


Cover image by ddzphoto from Pixabay


Abu Qurrah July 4, 2019
Share this post
Sign in to leave a comment
We
Memanggil ke Jalan Allah
Panggillah ke jalan Allah, bukan memanggil kepada diri kita sendiri.