Yang penting hepi.”
“Yang penting gw bahagia.”
Pastinya ini kata-kata yang sering kita dengar waktu kita membahas tentang hidup. Bahwa katanya hidup ini ya untuk mencari kebahagiaan. Menikah, supaya hepi. Cari duit yang banyak, supaya hepi. Punya anak, supaya hepi. Beli mobil bagus, gadget canggih terbaru, maen game sepuasnya, nonton box office movies, dan hiburan-hiburan lainnya, supaya hepi.
Kebahagiaan menjadi komoditas laris yang dicari hampir seluruh manusia di zaman ini. Sesuatu yang semua orang rela mengorbankan banyak hal demi mendapatkannya. It’s all about the pursuit of happiness (semuanya tentang mengejar kebahagiaan).
Tapi anehnya Al-Qur’an tidak pernah membahas tentang “mengejar kebahagiaan”. Aneh ya? Kita bolak-balik dari surah pertama hingga akhir pun kita ngga akan menemukan secara eksplisit bahasan tentang “mengejar kebahagiaan”. Allah ternyata tidak membahas itu. Hal tertinggi yang dibahas di dalam Al-Qur’an ternyata adalah “kepuasan / ke-ridho-an (contentment)” atau kedamaian (peace). Inilah tujuan besarnya, bukan kebahagiaan.
Merasa damai dan merasa bahagia adalah dua hal yang sangat-sangat berbeda. Walaupun sekilas terlihat mirip.
Ada beberapa penelitian / studi psikologi yang menarik, tentang tingkatan-tingkatan seseorang mengejar sesuatu di dalam hidup. Bahwa ternyata tingkatan TERBAWAH seseorang mengejar sesuatu di dalam hidupnya, adalah MENGEJAR KEBAHAGIAAN. Yup, lowest level. Level paling rendah dan paling mudah. Koq bisa?
Misalnya ada seorang bapak muda, gamer, begadang semalaman maen game online sampai kepala pusing, tapi karena menang dan seru, dia somehow hepi.
Atau misalnya seorang anak, pas hari libur, ngga ada PR, ngga ada ulangan, subuh bablas, baru bangun jam 10 siang. Sampai taraf tertentu, dia hepi.
Seorang ibu muda, nonton seri drama korea, semalaman, ber-episod-episod sampai tamat, sampai berlinang air mata kebawa suasana, tapi karena ceritanya romantis, to some degree dia hepi.
Ngga perlu susah payah ternyata supaya hepi. Gampang. Tinggal nonton, tinggal nongkrong sama temen, tinggal makan di tempat makan favorit, tinggal cari hiburan. Tapi hepinya ngga akan lama, setelah itu hilang. Lama-lama akan kerasa bosan, jenuh lagi, stress lagi, dan butuh hepi lagi. Terus-menerus seperti itu sehingga hepi menjadi candu. Kecanduan sesuatu yang ngga bisa bertahan lama, cuma sebentar lalu hilang.
Jadi ketika ada yang bilang, “I just wanna be happy (gw cuma pengen bahagia)”, sebenarnya ngga realistik, karena ngga akan ada orang yang hepi terus-menerus, bahagia setiap saat. Allah memberi kita berbagai macam emosi dan perasaan untuk dialami di dalam hidup, sebagai bagian dari hidup. Dan kebahagiaan hanya salah satunya saja. Kalau di dalam hidup ini kita cuma sebatas mencari kebahagiaan, maka dijamin pasti bakal banyak kecewa.
Lalu satu level di atas pencarian kebahagiaan, ada pencarian “kekerenan”. MENGEJAR KEREN (pursuit of cool). Ini sedikit lebih susah. Dan nanti semakin tinggi level pencarian seseorang, semakin butuh usaha dan penderitaan untuk mendapatkannya. Di level ini seseorang ngga mengejar hepi lagi, tapi mengejar sesuatu supaya dibilang “keren”. Supaya ngga ada seorang pun yang ngejek dia.
Misalnya seorang ibu-ibu sosialita, walaupun harus ngutang, nyicil, dan bisa jadi mengorbankan kestabilan keuangan keluarga, dia bela-belain beli iPhone terbaru, karena ternyata hampir semua ibu-ibu arisan pake iPhone. Dan cuma dia sendirian yang pake smartphone low-end. Demi berbaur dengan ibu-ibu yang lain, supaya bisa blend-in, supaya ngga ada yang ngejek, dia bela-belain beli iPhone. Padahal bisa jadi sebenarnya dia ngga suka dan ngga butuh.
Seorang remaja, sebelum pergi ke suatu acara bersama temannya, bakal berulang kali menimbang-nimbang baju mana yang mau dipake, sepatu mana yang paling ok, dan aksesoris apa yang cocok. Dia begitu peduli dengan penampilannya, supaya nanti ngga ada seorang pun yang mengolok-olok atau mengkritik penampilan dia. Ketika membeli sepatu atau baju, yang dipikirkan adalah: “apa yang bakal dikatakan orang lain, kalau saya pake ini”.
Seorang anak muda, supaya diterima oleh teman-temannya, rela bersusah payah bertingkah seperti mereka, menggunakan kata kasar / kotor, atau merokok misalnya, supaya bisa berbaur dan diterima. Dan pastinya butuh usaha untuk menjadi seperti orang lain. Dan sayangnya banyak sekali anak muda zaman sekarang yang rela berpura-pura, menjadi seseorang yang bukan dirinya, hanya supaya bisa diterima dan bisa berbaur.
Ini adalah level ke-2, mengejar “keren”.
Satu level di atas “keren” ada “populer”. Level 3, MENGEJAR POPULARITAS.
Gw ngga cuma pengen gaul, tapi gw pengen jadi yang paling gaul.
Gw pengen jadi idola di sekolah, pengen jadi topik pembicaraan waktu istirahat makan siang.
Gw pengen jadi pusat perhatian. Gw pengen postingan gw di sosial media di-like dan di-komen paling banyak. Gw bakal upload foto atau video atau nge-‘twit’ apapun, supaya followers gw banyak dan orang-orang komen tentang gw.
Dan setiap kali komen atau likes nya berkurang, dia butuh sesuatu yang baru supaya komen dan likes nya bertambah lagi, supaya dia tetap jadi pusat perhatian.
Mengejar kepopuleran ini seringkali begitu aneh. Karena seseorang, artis misalnya, kadang rela melakukan yang aneh-aneh supaya populer, yang kadang mempermalukan diri mereka sendiri. Di dunia musik dan entertainment misalnya, kalau ada artis yang albumnya booming, dapat penghargaan platinum dan sebagainya, tapi album-album berikutnya ngga sepopuler album sebelumnya, lagunya ngga se-nge-hits lagu-lagu sebelumnya, sehingga lama-lama dia jadi ngga populer lagi. Atau pemain sinetron misalnya, tampilannya menarik, banyak tampil di berbagai stasiun TV, semua orang memuji, tapi kemudian orang bosen karena gitu-gitu aja, lama-lama kepopulerannya turun. Dan supaya mereka populer lagi, kadang mereka rela mencari sensasi dengan misalnya terlibat kontroversi, terlibat video cabul, atau apapun, sehingga acara-acara gosip membahas mereka lagi, tabloid-tabloid ramai menceritakan mereka lagi. Pokoknya populer, meskipun dengan cara yang menjijikan.
Dan untuk menjadi populer butuh banyak usaha dibanding hanya sekedar keren. Harus mengeluarkan uang, menghabiskan waktu, menjaga image, menjaga penampilan di depan publik. Ini adalah level ke-3, mengejar kepopuleran.
Tapi di atasnya ada lagi level yang butuh usaha lebih banyak, yaitu level ke-4, MENGEJAR PRESTIGE / GENGSI / KEHORMATAN. Gengsi atau prestige itu adalah ingin menyandingkan nama kita dengan sesuatu yang bernilai tinggi / terhormat.
Orang-orang yang mengejar ini, pengen misalnya mengatakan ke orang lain: Eh, gw lulusan ITB loh, gw lulusan UI, gw lulusan UGM, ITS, jebolan Amerika, jebolan UK, Jepang, Korea, dan sebagainya. Ingin menyandingkan nama mereka dengan nama institusi ternama / bergengsi.
Atau dengan perusahaan bonafit: Eh btw, saya kerja di Oil Company “A” loh, saya kerja di BUMN “B”, di perusahaan asing “C”.
Atau kedekatan dengan orang ternama: misalnya selfie sama seorang tokoh, bukan untuk kenangan, tapi untuk diposting di sosial media, supaya orang-orang tahu dia orang yang cukup penting sehingga tokoh itu mau berfoto sama dia. Nih saya dekat loh sama Pak itu.
Termasuk urusan brand bergengsi: Kamu nyetir mobil apa? Jam kamu merk apa? Baju kamu brand apa?
Atau bahkan pamer status “bergengsi” di dalam agama, misalnya: Anak saya ini hafidz 30 juz loh Mba.
Ini adalah level ke-4, mengejar gengsi.
Lalu di atasnya, ada level ke-5, MENGEJAR UANG. Ada orang yang ngga peduli dengan kebahagiaan, ngga peduli dengan kepopuleran, dengan gengsi, karena satu-satunya yang mereka pedulikan adalah UANG. Ini adalah orang-orang yang kadang bajunya biasa-biasa, tampang kusut, tapi bisa menghasilkan ratusan juta bahkan miliaran rupiah per bulan. Orang lain jika melihat penampilannya ngga akan nyangka. Ini adalah orang yang mungkin ngga punya waktu untuk mengurus penampilannya, karena apa yang dia pikirkan setiap hari adalah bisnis, bisnis, dan bisnis. Bagaimana caranya meningkatkan penjualan, bagaimana mengatur pengeluaran, rencana perkembangan, dan lain-lain. Dan di level ini, usaha yang harus ditempuh jauh lebih berat lagi. Mereka punya etos kerja yang luar biasa, kadang malah ngga pernah cuti.
Kalau kita review lagi sejauh ini ada 5 level. Tak butuh banyak usaha untuk bahagia (level 1), butuh sedikit usaha untuk menjadi keren (level 2), butuh banyak usaha untuk menjadi populer (level 3), butuh lebih banyak usaha untuk mengejar gengsi (level 4) dan butuh ekstra usaha yang banyak untuk mengejar uang (level 5).
Dan ada lagi yang butuh lebih banyak usaha ekstra dan bahkan penderitaan. Satu level di atas uang, level ke-6, MENGEJAR UNTUK MENJADI YANG TERBAIK (pursuit of excellence).
Gw bukan cuma pengen jadi engineer di perusahaan minyak besar, gw pengen jadi engineer terbaik di kantor.
Gw bukan cuma pengen jadi programmer dengan gaji gede, gw pengen jadi programmer terbaik se-Indonesia misalnya.
Gw ngga mau cuma jadi mahasiswa yang biasa-biasa aja di kampus, gw pengen jadi mahasiswa terbaik.
Gw ngga mau jadi nomor 10, nomor 5, atau nomor 2, gw pengen jadi Nomor 1.
Mereka-mereka ini tidak pernah puas dengan dirinya dan terus-menerus mendorong dan memotivasi diri mereka sendiri. Selalu terus berusaha lebih baik lagi, lagi dan lagi. Dalam bidang apapun yang mereka tekuni, baik itu dalam menuntut ilmu, sekolah, olah raga, bidang pekerjaan, penelitian atau apapun itu, mereka selalu mengejar untuk menjadi nomor 1. Dan tahukah siapa yang selalu mereka jadikan benchmark / patokan? Seseorang yang ingin mereka saingi atau kejar?
Jawabannya: Diri mereka sendiri di hari yang sebelumnya.
Mereka tidak peduli siapapun. Tidak iri pada siapapun. Mereka selalu yakin bisa melakukan yang lebih baik lagi. Tidak pernah puas. Tidak pernah bermalas-malasan. Mereka adalah orang yang selalu bilang, “Aduh, gw harusnya bisa lebih baik lagi. Gw seharusnya bisa lebih rajin lagi.” Padahal orang lain sudah bilang, “Ya ampun gan, kamu tuh udah luar biasa banget.” Tapi dia selalu menjawab, “Hmm…iya sih, tapi gw tahu seharusnya gw bisa lebih baik lagi”
Mereka adalah orang-orang yang tidak peduli dengan pujian dan penghargaan orang lain. Terus-menerus memotivasi, mendorong dan menempa dirinya lebih keras, lagi dan lagi. Mereka tidak mencari kepopuleran atau uang. Yang mereka kejar adalah keunggulan. Orang-orang seperti ini di dunia, sangat sedikit. Dan ini kita belum membicarakan tentang seorang mu’min. Ini adalah hasil penelitian psikologi yang bersifat umum.
Itu adalah level ke-6, mengejar keunggulan.
Lalu di atasnya…
Apa ada lagi yang lebih hebat dari mengejar keunggulan?
Yup, ada. Level ke-7, di atas keunggulan, adalah “memberi dampak (impacting)” atau MENGEJAR SESUATU YANG BISA MEMBUAT PERUBAHAN.
Gw ngga peduli berapa yang gw dapet per bulan. Gw ngga peduli gw populer atau ngga. Ngga peduli nomor 1 atau bukan. Gw pengen melakukan sesuatu yang bernilai untuk orang lain. Gw pengen mewariskan sesuatu. Gw tahu gw punya waktu yang terbatas di bumi ini, jadi gw harus meninggalkan jejak. Membuat perubahan positif di lingkungan gw.
Seseorang yang misalnya sudah berpendidikan S2 di universitas ternama, bisa mendapatkan gaji puluhan bahkan ratusan juta per bulan di sebuah perusahaan besar ternama, tapi kemudian gaji itu dia tinggalkan untuk masuk ke perusahaan yang bergerak di bidang sosial. Gajinya turus drastis, tapi itu bukan masalah buat dia. Karena keyakinan dia bukan sama uang, keyakinan dia adalah perubahan.
Seseorang yang yakin dia dapat berkontribusi dan membantu misalnya dalam mereformasi sistem pendidikan, atau seorang dokter yang menjadi relawan di daerah terpencil meskipun bayarannya sedikit.
Orang lain mungkin akan bertanya-tanya, buat apa dia menyengsarakan dirinya sendiri seperti itu?
Itu karena orang-orang seperti ini, daripada sekedar pusing memikirkan mobil apa yang dia beli setelah dapat bonus, gadget terbaru mana yang harus dibeli setelah gajian, dia lebih khawatir dengan kondisi lingkungan, kondisi dunia, di mana dan bagaimana dia bisa berperan dan berkontribusi pada perubahan positif dan kebaikan. Dan orang-orang seperti ini sangat-sangat sedikit sekali jumlahnya. Orang-orang yang membawa banyak perubahan di dunia. Orang-orang seperti Nelson Mandela, orang-orang yang masuk penjara karena meyakini suatu perjuangan tertentu. Orang-orang yang mengorbankan diri mereka sendiri demi dunia yang lebih baik.
Mereka adalah para PEMBURU PERUBAHAN. Bagi mereka, keunggulan dan kesempurnaan bukan tujuan, tapi hanya produk sampingan.
Ini adalah level ke-7, memburu perubahan.
Mungkin kita berpikir, level ke-7 ini adalah tujuan tertinggi yang bisa dicapai oleh seseorang. Menjadi pemburu perubahan. Tapi ternyata ada yang lebih tinggi, yaitu MENGEJAR KEBENARAN HAKIKI (the ultimate truth) atau MENGEJAR PENEGAKKAN KEADILAN. Seseorang yang meyakini kebenaran, keadilan, dan idealisme. Padahal keadilan itu sesuatu yang sangat sulit untuk diwujudkan. Tetapi mereka tidak peduli itu. Mereka tetap mau berjuang memberikan yang terbaik untuk mewujudkannya.
Dan tantangan terberatnya adalah mereka seringkali tidak bisa melihat hasilnya secara langsung. Lain halnya seorang pemburu perubahan, meskipun dia melihat sedikit saja perubahan dari hasil kerja kerasnya, pasti akan termotivasi untuk membuat dia terus maju. Tapi jika yang dikejar adalah suatu idealisme atau keadilan, bisa jadi mereka tidak pernah melihat hasilnya sampai kapan pun. Tetapi orang-orang ini bisa memotivasi dirinya bahkan ketika mereka tidak bisa melihat ujung hasilnya. Mereka adalah orang-orang yang paling luar biasa, paling kuat dan tabah. Sekali mereka meyakini sesuatu, walaupun orang lain menganggap mereka gila, mereka tidak akan peduli dan terus melangkah maju. Orang-orang ini senang menyebarkan kebenaran kepada orang lain. Meskipun pada akhirnya ternyata tidak ada yang percaya atau mengikutinya.
Contoh orang di level ini adalah para Nabi dan Rasul. Di hari akhir nanti akan ada Rasul yang menghadap Allah tanpa seorang pun pengikut di belakangnya. Bukan 1, bukan 2, NOL!
Apa yang mereka kejar? Kebenaran.
Seberapa besar dampaknya? Nol.
Akan tetapi mereka sudah pasti tetap sukses di hadapan Allah.
OK. Mari kita lihat lagi 5 tingkatan teratas pencarian dalam hidup:
- Mengejar gengsi / prestige
- Mengejar uang
- Mengejar untuk menjadi yang terbaik / unggul
- Memburu perubahan
- Mengejar kebenaran dan keadilan
Islam mengajarkan bahwa setiap mu’min harus menjadi seorang pemburu perubahan, become the people of impact. Itulah kenapa kita tidak seharusnya gampang puas dengan diri kita sendiri. Karena Allah telah membebani suatu tanggung jawab yang bahkan di luar dugaan kita.
Ada suatu pernyataan di dalam Al-Qur’an yang seringkali diterjemahkan dengan kurang baik, sehingga seringkali salah untuk dipahami, yaitu di dalam Surah Al-Baqarah ayat 286: “Laa yukallifullaahu nafsan illaa wus’ahaa“. Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya. Ini adalah terjemahan yang terlalu sederhana. Karena memang jika itu terjemahannya, seharusnya kata bahasa Arabnya adalah “Laa yukallifullahu nafsan illa biwus’ihaa“. Harus ada huruf “ba” di situ. Dan karena di situ tidak ada huruf “ba“, terjemahan yang lebih tepat adalah: Allah tidak membebanimu dengan sesuatu pun, kecuali dengan potensimu. Dengan segala potensi yang ada padamu. Potensi yang mungkin belum termanfaatkan. Potensi untuk melakukan lebih dari saat ini. Dan kelak Allah akan mempertanyakan potensi-potensi kita itu dan apa-apa yang seharusnya bisa kita lakukan. Bukan batas minimalnya, tapi maksimalnya. Allah ingin kita berusaha lebih keras, lebih keras, dan lebih keras.
Kita tidak tertarik untuk mengejar kebahagiaan. Itu hanya hal yang diberikan Allah sebagai benefit sampingan.
Kita tidak tertarik untuk mengejar kekerenan. Karena keren itu cupu. Yup, CUPU.
Kita tidak tertarik untuk mengejar popularitas. Karena mereka para pencari popularitas, ngga punya tujuan hidup yang jelas. Dan jika kita populer di mata mereka, berarti kita lebih bodoh dari mereka.
Kita tidak tertarik untuk mengejar gengsi atau prestige. Karena kita tahu kehormatan itu pemberian Allah. Para Nabi diusir dari rumahnya, mereka tetap terhormat. Para Rasul diludahi umatnya, mereka tetap terhormat.
Dan ketika kita berbicara tentang mengejar excellence (keunggulan), kita muslim, ngga bisa terima, ngga boleh menyerah, atau merasa puas, pada yang biasa-biasa aja. We cannot afford mediocrity. Kita harus terus menerus mendorong diri ke arah perbaikan. Apapun aktivitas kita. Jika kita menghafal Al-Qur’an, kita harus bisa menghafal lebih baik lagi. Jika kita menuntut ilmu, kita bisa menuntut ilmu lebih baik lagi. Jika kita bekerja, kita bisa bekerja lebih baik lagi. Push our self to better. Dorong diri kita terus menjadi lebih baik lagi.
Ini bukan saatnya mengumpulkan trophy dan achievement di game favorit. Bukan saatnya menamatkan berbagai macam box office movies, dramas, you name it. Bukan saatnya girang dengan “The New Avengers“ or whatever. Ini bukan untuk kita. Kita punya tanggung jawab yang jauh jauh lebih besar dari itu. Much bigger. Dunia ini menunggu perubahan yang akan kita buat.
Setiap pemuda dan pemudi di negeri ini, harus sudah memikirkan, “Apa yang Allah berikan kepada saya?” Potensi dan bakat apa yang Allah berikan kepada saya? Dan perubahan apa yang bisa saya buat dengan itu?
Dan ketika kita sudah memikirkan dampaknya, kita akan menyadari ke mana tujuannya. Kita terus bekerja menuju ke-ridho-an Allah. That’s the ultimate truth. Itulah kebenaran hakiki Islam. Kita ingin bisa menghadap Allah kelak, setelah mengerahkan segala kemampuan yang kita miliki untuk berkarya dan membuat perubahan di dunia ini. Inilah misi kita.
Pola tidur kita harus yang terbaik. Pola makan kita harus yang terbaik. Jadwal olah raga kita harus yang terbaik. Shalat kita harus yang terbaik. Belajar dan menuntut ilmu kita harus yang terbaik. Kita harus menjadi yang terbaik dalam segala hal dalam hidup kita.
Umat ini butuh yang seperti itu. Orang-orang terbaik yang akan membawa perubahan.
Sayangnya, kebanyakan generasi orang tua kita, walaupun tidak semua, karena mungkin tidak pernah diajarkan mengenai ini, sehingga hal tertinggi yang paling berharga untuk mereka, adalah gengsi atau mungkin di atasnya, uang. Sudah sampai di situ saja. Jadi seringkali yang mereka harapkan dari kita ya tidak jauh dari gengsi dan uang. That’s it.
Ayo cari kerjaan, supaya nanti dihormati orang, supaya nanti bisa kami banggakan sama sanak saudara dan tetangga. Supaya kami bisa bilang: anak kami dokter, anak kami insinyur, anak kami kerja di migas, anak kami gajinya besar, dan sebagainya.
Sampai di situ saja. Dan kalau ketemu, pertanyaannya adalah, “Kamu kerja di mana? Gajinya gimana? Beli rumah di mana? Beli mobil apa?
Semua berakhir di gengsi dan uang. Padahal ada yang lebih dari itu. Sesuatu yang jauh lebih berharga dari itu. Ada keunggulan, ada perubahan dan kebenaran. Mari kita ulang lagi dari awal:
- Mengejar kebahagiaan
- Mengejar kekerenan
- Mengejar kepopuleran
- Mengejar gengsi
- Mengejar uang
- Mengejar keunggulan
- Mengejar perubahan
- Mengejar kebenaran
Tahukah kita apa yang paling penting bagi Allah? Yang paling penting bagi Allah di antara itu semua adalah “MENGEJAR” itu sendiri. USAHA UNTUK MENGEJAR. Bukan uang, bukan yang terbaik, bukan perubahan, bukan. Yang ingin Allah lihat dari kita adalah USAHA kita. Itulah mengapa ada Rasul yang tidak memiliki pengikut, tetapi Allah tetap memberikan kepadanya Surga yang tertinggi. Karena Allah menghargai usaha mereka, kerja keras mereka, dan ketabahan mereka. Karena mereka tangguh dan sabar. Semua dilaluinya.
Nabi Nuh ‘alayhissalam misalnya, berdakwah 950 tahun, bayangkan. Tetapi pengikutnya hampir tidak ada. Tetapi apa yang Allah hargai dari Nabi Nuh ‘alayhissalam adalah karena dia konsisten, konsisten, dan konsisten dalam berusaha.
Kita harus menjiwai ini. Kita harus menjadi orang yang terus-menerus mengejar dan berusaha. We have to be the people of pursuit. Kita tidak akan mendapatkan balasan kecuali atas usaha kita.
“Wa al laisa lil-insaani illaa maa sa’aa.” Setiap manusia tidak akan mendapat balasan apapun kecuali atas usaha mereka (An-Najm ayat 39).
Dan ketika kita terus menerus melakukan usaha untuk menjadi lebih baik, hidup kita akan memiliki arti. Sehingga kebahagiaan akan datang sendiri. Jika kita tidak melakukan ini, maka hidup kita akan hampa dan tidak memiliki arti. Hanya dari satu game ke game yang lain. Dari satu sinetron ke sinetron yang lain. Dari satu film ke film yang lain. Dari satu musik ke musik yang lain. Dan kita tidak akan pernah puas. Akan selalu bosan dan tidak bahagia.
Usaha pencarian dan mengejar sesuatu lah yang akan membuat kita merasa puas dan merasa damai. Mengejar yang terbaik, mengejar perubahan, mengejar kebenaran, mengejar sesuatu yang membuat Allah ridha.
Manusia di dunia ini saling menilai satu sama lain berdasarkan hasil. Orang lain di sekitar kita, mereka hanya menilai hasil. Jika kita gagal, mereka men-cap kita sebagai orang gagal. Walaupun kita sudah berusaha mati-matian. Karena memang mereka tidak melihat bagaimana setiap detil usaha kita. Yang mereka pedulikan hanya hasil.
Tetapi Allah tidak menilai hasil. Allah menilai usaha kita. Dan Allah Maha Mengetahui setiap detil usaha kita sampai yang sekecil-kecilnya. Allah tahu perjuangan kita. Meskipun hasilnya adalah kegagalan. Itu tidak akan sia-sia. Di hari akhir nanti, buku catatan amalan kita akan merekam setiap detil usaha kita. Dan Allah akan memberikan balasan berdasarkan kerja keras dan usaha yang telah kita curahkan. Bukan hasilnya.
Subhaanallah… Sungguh Allah Maha Menghargai.
Sudah saatnya kita meluruskan niat dalam setiap usaha kita. Karena hanya Allah lah yang bisa melihat setiap detil usaha kita yang sebenarnya. Berhentilah berharap kepada manusia, karena hanya akan berujung kepada kekecewaan. Sedangkan Allah tidak akan pernah membuat kita kecewa. Kelak Allah akan memperhitungkan setiap butir keringat yang menetes, setiap kepedihan yang dirasakan, setiap langkah yang tidak dilihat manusia, setiap pekerjaan kita yang tidak dihargai orang lain.
Luruskan niat. Maka kita akan menjadi orang tangguh yang tidak pernah menyerah dalam hidup. Yang tidak takut gagal meskipun sudah berkali-kali gagal. Yang tidak akan cengeng menghadapi setiap permasalahan hidup.
Karena kelak tidak ada yang sia-sia di hadapan Allah.
Ref:
Ceramah Ustadz Nouman Ali Khan
Note: Jazaakumullahu khayr kepada Tim NAK Indonesia yang sudah men-share video ini. This video is priceless.