Saya ingin sedikit bercerita mengenai sepotong kisah kami (saya, istri, dan anak-anak), sebagai bentuk rasa syukur, atas serangkaian tarbiyah Allah kepada kami, yang semoga bisa teman-teman ambil ‘ibrah (pelajaran) darinya.
Bagi sahabat-sahabat dekat yang sudah mengenal kami sejak lama, pastinya tahu persis bagaimana kami, terutama saya, sebelum 2014-2016.
Seorang muslim, namun lalai. Dan sangat bodoh a.k.a. jāhil akan agamanya. Bahkan sempat mengalami masa-masa dimana hati ini meragukan kebenaran Islam dan Al-Qur’an.
Alhamdulillāh, Allah memberikan hudā.
Ditambah lagi, di masa itu kami bisa dibilang cukup mapan secara finansial. Dan berada di lingkaran pertemanan yang mayoritas seperti itu juga. Yang tanpa disadari telah membentuk mindset kami dan anak-anak kami, mengenai hidup ini. Yang kurang lebih bunyinya: “Bagaimana caranya supaya hidup senyaman mungkin dan sesejahtera mungkin.”
Sehingga topik obrolan di kantor ngga jauh-jauh dari career development, gaji, aset, rumah, kendaraan, investasi, entertainment, rumah sakit yang paling bagus, dokter yang paling oke, tempat wisata & tempat jalan-jalan.
Padahal waktu itu angka gaji udah ga perlu ditanya lagi besarnya. Biaya kesehatan pribadi & keluarga ditanggung tanpa limit. Biaya melahirkan istri, rawat inap kelas VIP, hingga operasi puluhan juta pun ditanggung full oleh perusahaan. Belum lagi benefit-benefit lainnya seperti kendaraan, award, dll.
Namun percayakah teman-teman, bahwa isi pembicaraan di jam istirahat hampir tak pernah absen dari keluhan.
Keluhan mengapa kenaikan gaji tahun ini persentasenya kecil. Mengeluhkan benefit perusahaan yang kalah dengan perusahaan sebelah. Mengeluhkan pelayanan rumah sakit yang kurang (padahal itu rumah sakit elit, di Jabodetabek). Mengeluhkan sakit yg tak cepat sembuh karena kualitas dokter yang dirasa kurang, sambil cari info dokter yang “pasti memberikan kesembuhan”. Sama sekali tak terlintas bahwa Allah-lah yang menyembuhkan.
Subhānallāh…
Rasanya “syukur” begitu jauh dari pandangan.
Sungguh sempit dan miskin hati kami saat itu.
Lalu dimulailah rangkaian tarbiyah Allah. Akhir 2014 Allah buat saya jatuh (literally bener-bener jatuh di stasiun). Hingga tak lagi bisa berdiri, ataupun duduk. Hanya bisa berbaring. Singkat cerita saya menjalani operasi, dan alhamdulillāh bisa berdiri dan berjalan lagi meskipun ngga 100% normal.
Lalu 2015… ini nih.
Saya dipindah tugaskan ke Bojonegoro, dan kami sekeluarga pindah ke sana. Di sana Allah mulai berikan lebih banyak hal yang pahit. Lebih banyak problematika hidup.
Namun Allah pertemukan kami dengan orang-orang yang shālih. Yang mengajak kami kepada kebaikan. Kepada ketaatan.
Kepada suatu mindset yang benar-benar berbeda. Mindset bahwa hidup itu lebih dari sekedar mencari kenyamanan hidup dan kesejahteraan. Sebuah mindset yang di dalamnya ada kesederhanaan dan rasa syukur.
Ada banyak momen pelajaran berharga di sana, yang sampai sekarang kami tak pernah lupa. Salah satunya yang kami temukan di Rumah Sakit Aisyiah Bojonegoro.
Meskipun luas secara wilayah, Bojonegoro itu bukan kota besar seperti Bandung apalagi Jakarta. Sebuah wilayah di daerah yang masih terus berkembang. Dan RS Aisyiyah itu salah satu RS yang terbaik (bagi orang Bojonegoro), namun tidak (bagi orang Jakarta). Sehingga kebanyakan teman-teman kantor kami lebih memilih berobat ke RS di Surabaya.
Kami pun yang saat itu sudah terbiasa dengan RS besar di Jabodetabek, sempat ragu untuk berobat ke RS Aisyiyah. Tapi entah kenapa, kami tetap berobat ke sana.
Kami yang waktu itu sudah terbiasa dengan pemandangan RS besar di kota besar, rasanya ditampar keras ketika pertama kali masuk ke lingkungan RS Aisyiyah. Kami melihat penunggu pasien bergeletakan di atas lantai luar gedung rawat inap kelas II/III (di malam hari), karena ruangan yang terbatas. Begitu pula UGD yang sering terlihat penuh hingga bed pasien terparkir di lorong-lorong hingga pintu masuk. (Sekarang mungkin sudah ngga begini lagi karena terakhir tahun 2018 saya lihat Aisyiyah terus membangun fasilitas & gedung baru).
Ya Allah… Betapa tidak bersyukurnya kami dulu yang masih sering mengeluhkan fasilitas RS besar, di kota besar.
Dan satu hal yang saya masih ingat betul sampai sekarang. Sebuah tulisan besar di dekat gerbang masuk bertuliskan:
وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ
“Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkanku.” [Asy-Syu’arā 26:80]
Allah…
Sebuah ayat yang benar-benar menusuk.
Dan tertanam di hati, hingga saat ini.
Suatu waktu setelah itu, Allah beri saya sakit (DB). Salah seorang teman kantor menyarankan saya dirawat di RS Surabaya beserta rekomendasi dokter bagus yang dikenalnya. Lalu saya jawab, “Kayaknya saya di Aisyiyah aja mas. In syā Allāh… Allah Maha Menyembuhkan melalui dokter manapun.”
Dan alhamdulillāh, saya sembuh. Dan Yang Maha Menyembuhkan lah, satu-satunya yang mampu memberi kesembuhan. Sedangkan dokter, hanya perantara saja. Begitu pula obat, hanya sekedar alat. Karena keduanya, tidak memiliki kendali penuh terhadap metabolisme tubuh kita, terhadap semua reaksi kimia yang terjadi, terhadap seluruh proses kompleks yang terjadi dalam setiap sel tubuh kita.
Tak seperti Dia, Asy-Syāfī, Yang Maha Menyembuhkan. Yang memiliki kendali penuh atas setiap komponen terkecil tubuh kita. Yang tampak, maupun yang tersembunyi.
Fasilitas yang terbatas, dengan kualitas jauh di bawah RS besar di kota besar, mulai terasa lapang dan nyaman. Karena lapangnya jiwa, dan kayanya hati.
(Bersambung di Bagian 2, in syā Allāh)