We

Pejuang Subuh

Mengalahkan rasa kantuk | Melangkahkan kaki ke mesjid | Menundukkan hati hanya kepada Allah | Menaklukkan rasa cinta kepada dunia

Ya akhi, ya ukhti. Para pejuang subuh, penikmat qiyamul lail. Tidak kah engkau melihatnya? Ku tahu engkau pasti melihatnya. Aku pun melihatnya.

Untuk pertama kalinya, setelah lebih dari 600 tahun. Untuk pertama kalinya, tanda-tanda kebangkitan umat Islam, terjadi di mana-mana. Sebelumnya, mungkin kita melihatnya di Libya, lalu padam. Lalu di Sudan, kemudian padam. Atau di Bangladesh, kemudian padam. Dan seterusnya.

Tapi untuk pertama kalinya, ya akhi, ya ukhti. Kemana pun kita pergi, apakah itu negara Islam maupun bukan negara Islam, begitu pun di negeri ini. Kita akan melihat muslim, kembali kepada agamanya. Kita melihat para pemuda Islam, para pemudi Islam, berkomitmen penuh kepada Islam. Mereka kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah.

Ketika ini terjadi, ya akhi, ya ukhti.
Maka kita tahu.
Bahwa kita sedang membalikkan situasi.
That we are turning the tide back.

Tidak kah engkau melihatnya? Ku tahu engkau pasti melihatnya. Aku pun melihatnya.

Ya akhi, ya ukhti. Kadang kita terlalu fokus kepada kejadian demi kejadian yang terjadi. Katakanlah itu 11 September 2001, atau Jenin-Palestina (2002), atau apapun. Kebanyakan dari kita melupakan gambaran besarnya, forget the big picture. Sedikit sekali yang memperhatikan the big picture. Karena memerlukan pemahaman mengenai sejarah dan pergerakan peradaban untuk melihatnya.

Islam naik ke tampuk kekuasaan, begitu cepat. Lalu terus berkembang pesat selama kurang lebih 800 tahun. Lalu mengalami kemunduran selama kurang lebih 600 tahun. Hingga ke titiknya yang terendah. Dan titik itu adalah 1948, lalu 1967. Ketika kita ditaklukkan oleh musuh-musuh Allah.

Mereka mengambil alih ‘hati’ kita,
PALESTINA
Jantung umat Islam
Di titik terendah itu, Palestina jatuh ke tangan musuh.

Jika kita mempelajari sejarah, kita akan memahami bahwa ombak kebangkitan yang terkuat, datang setelah 1967. Sebelum 1967, ada banyak Nasionalisme Arab yang terjadi di negara-negara muslim. Lalu Nasionalisme Turki, dan lain-lain. Dan setelah 1967, kita terbangun.

Untuk pertama kalinya, muslim memiliki organisasi muslim di dalam politik dan ekonomi, memiliki bank muslim, media muslim, surat kabar muslim, satelit muslim. Di setiap wilayah, ada organisasi wanita muslim, organisasi anak muslim, kita melihat ini di mana-mana. Di hampir seluruh negara muslim, perkembangan jaringan sekolah/universitas Islam semakin pesat.

Jumlah jemaah haji meningkat pesat dari hanya 90 ribu pada 1926, menjadi 2 juta di tahun 1979.

Di Maroko, pada akhir 1990, jumlah program doktoral di bidang agama (Islam) lebih banyak dibanding bidang sosial atau literatur. Di arab Saudi, hampir seluruh program doktor adalah bidang agama Islam.

Ini adalah OMBAK BESAR yang sedang bangkit.

Tidak kah engkau melihatnya? Ku tahu engkau pasti melihatnya. Aku pun melihatnya.

Kita mungkin sedang berada di penghujung transisi dari satu era ke era yang lain. Era yang dijelaskan di dalam Hadist Riwayat Imam Ahmad dari An Nu’man bin Basyir. Menuju era Khilafatun ‘Ala Minhaj An-Nubuwwah. Kekhalifahan seperti Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali, Radhiyallahu ‘Anhum.

Ya akhi, ya ukhti,
Namun kita tak boleh gegabah.
Jangan pula hanya menunggu. Hanya bermimpi.

Kita membutuhkan private sector yang kuat.
Kita membutuhkan lebih banyak pengusaha muslim.
Kita membutuhkan lebih banyak muslim yang memiliki media.
Kita membutuhkan lebih banyak akademia dan universitas. Karena universitas lah yang membentuk pikiran orang-orang yang akan menjadi pilar masyarakat. Kita butuh lebih banyak muslim yang menguasai sosiologi, antropologi, dan ilmu politik. Kita butuh lebih banyak ahli sejarah muslim.

Kadang masyarakat kita terjebak dengan definisi sukses yang semu dan terjebak untuk hanya mencetak pekerja. Dimana sukses bisa dicapai dengan menjadi seorang dokter, engineer, programmer, dan profesi-profesi lain dengan gaji tinggi. Sukses adalah ketika seseorang bisa menghasilkan uang yang banyak, bisa membeli rumah mewah, dan mobil yang bagus. Padahal ini mungkin bisa dikatakan sukses untuk individu, mungkin. Tapi tidak merupakan sukses bagi sebuah masyarakat.

Karena kita hanya akan menjadi highly skilled labour. Bukan seseorang yang bisa mempengaruhi pikiran orang lain. Bukan seseorang yang bisa membuat riak pengaruh positif di masyarakat. Kita hanya menjadi konsumen yang lebih baik, bisa membeli mobil yang lebih mahal, gadget yang lebih canggih, dan lainnya. Mungkin berkontribusi sedikit terhadap ekonomi, sedikit. Tapi definitely not the influencer of mind.

Kita harus menjadi bagian penting masyarakat. Menjadi benang penyusun negeri ini. We need to become the deep fabric of this country. Menjadi seseorang yang memiliki posisi-posisi utama di universitas. Menjadi pengusaha muslim yang menghasilkan keuntungan yang besar sehingga bisa mendanai program-program dan penelitian-penelitian islam.

Dan akhi, ukhti.
Semua itu hanya akan menjadi mimpi.
Jika ketika adzan subuh berkumandang saja, kita masih bermimpi.
Dan jika shalat wajib saja (bagi ikhwan) tidak berjamaah di masjid, dan hanya shalat sendiri.

Jadilah para PEJUANG SUBUH,
yang bisa mengalahkan rasa kantuk,
untuk melangkahkan kakinya ke mesjid,
menembus gelapnya fajar,
untuk menundukkan hatinya hanya kepada Allah,
dan menaklukkan rasa cintanya kepada dunia.

Diadaptasi dari [1] Channel Merciful Servant, [2] Ceramah Ust. Nouman Ali Khan, dan dari berbagai sumber


Abu Qurrah August 5, 2017
Share this post
Sign in to leave a comment
We
Tundukkan Hati, Tundukkan Pandangan
Ini hanyalah sebuah pengingat untuk diri sendiri dan para laki-laki yang sedang berjuang menundukkan hatinya hanya kepada Allah Yang Maha Tinggi