Kadang saya terheran-heran. Melangkahkan kaki di kota ini, selalu saja Allah pertemukan saya dengan kenalan-kenalan baru yang juga seorang pemuda hijrah, atau kawan lama yang dulu biasa-biasa saja, tapi sekarang menjadi pemuda/pemudi hijrah yang melek betul dengan ilmu agama. Orang-orang di sekitar saya, baik itu keluarga, kawan lama, kawan baru, sepertinya satu per satu, bergerak kembali kepada agamanya. Sesuatu yang patut disyukuri, alhamdulillah…
Mereka begitu bersemangat mencari ilmu. Saya sendiri pun merasakannya, a burning desire to learn, keinginan belajar yang tak tertahankan untuk mempelajari agama ini.
Hari ini kita menyaksikan banyak muslim yang terbangun dari tidurnya. Yang akhirnya menemukan kembali identitas keislamannya, setelah sekian lama hilang. Segala puji bagi Allah, Yang Maha Kuasa untuk menghidupkan kembali hati yang mati.
Namun demikian, kami dikejutkan dengan fakta yang pahit yang terjadi saat ini. Kami terbangun di tengah situasi yang patut disayangkan. Situasi dimana muslim di berbagai penjuru dunia menjadi target penghinaan, negaranya dijajah oleh musuh mereka, atau dizalimi oleh penguasa di negerinya sendiri. Dan situasi dimana negara dan kaum muslimin begitu terpecah-belah menjadi banyak kelompok dan golongan.
Kami miris melihat hujatan, celaan, dan hinaan di media sosial antar sesama muslim yang berbeda golongan. Mereka berdebat kusir dengan keyakinan absolut bahwa golongan mereka lah yang benar. Sehingga kami pun seringkali kepayahan untuk menentukan mana yang benar yang layak untuk diikuti.
What is actually missing here? Apa yang sebenarnya hilang di situasi ini?
Saya ingin menceritakan tentang suatu mata kuliah di Universitas Islam Online asuhan Dr. Bilal Philips. Ini adalah mata kuliah yang wajib diambil oleh jurusan apapun di semester pertama. Mata kuliah itu bernama: “Etiquettes of Seeking Knowledge” atau “Adab Mencari Ilmu”.
Buku yang dijadikan acuan dalam mata kuliah ini berjudul “Hilyah Thaalibul ‘Ilm”
(حلية طالب العلم) yang secara harfiyah artinya “Perhiasan Seorang Pencari Ilmu” atau dalam bahasa Inggris “Adornment of the Seeker of Knowledge“. Buku ini ditulis oleh Syaikh Dr. Bakr ibn Abdillah Abu Zayd. Beliau lahir pada tahun 1944 di Najd, dan meninggal pada tahun 2008 di Riyadh. Beliau menyelesaikan Master dan PhD nya di Fakultas Syari’ah di Universitas Ibn Saud, di Riyadh, dan belajar secara langsung kepada ulama-ulama ternama seperti Muhammad Al Amiin Ashanqiti di Madinah dan juga dengan Syaikh Ibn Baaz. Beliau pernah ditunjuk sebagai anggota Mahkamah Agung dan Dewan Ulama Senior. Beliau juga dipilih sebagai Perwakilan Majelis Internasional Hukum Islam. Beliau telah menulis 66 buku, dan buku ini adalah salah satunya.
Saya sangat suka dengan bagian pendahuluan buku ini. Di bagian pendahuluan, Syaikh Bakr Abu Zayd menjelaskan bahwa buku ini ditulis pada tahun 1408 H (1988 Masehi), masa dimana kaum muslimin menyaksikan suatu kebangkitan dan kesadaran terhadap ilmu. Semangat kebangkitan dan kesadaran yang bermekaran di dalam hati para pemuda umat ini. Bagai darah segar yang memperbaharui kehidupan. Para pemuda ini memiliki ambisi, bakat akademis, serta kesabaran dan ketelitian yang luar biasa dalam mempelajari dan meneliti suatu permasalahan. Semua hal yang cukup untuk mengembalikan kejayaan Islam dan kemenangan kepada kaum muslimin. Maka segala puji bagi Dia Yang Memberi Kehidupan dan Kematian kepada hati manusia.
Namun demikian, beliau menjelaskan bahwa sangat penting untuk “menyiram bibit-bibit yang diberkahi ini” dan memandunya di sepanjang perjalanan untuk memberikan penjagaan ekstra, yang dapat melindungi mereka supaya tidak “tersandung” di tengah-tengah pencarian ilmu dan ketika mengamalkannya. Juga menjaga dari kegaduhan intelektualitas, ideologi, perilaku, dan perpecahan golongan-golongan.
Beliau menjelaskan betapa pentingnya memandu kebangkitan pemuda yang sedang terjadi di dunia muslim ini. Karena begitu banyak para pemuda yang “dibajak” dan diarahkan, oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, ke arah yang sama sekali tidak sesuai dengan Islam. Seperti kaum Khawarij pada masa Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu’anhu, yang mengkafirkan sesama muslim.
Penting untuk memagari pemuda dari pemahaman sendiri yang kadang berpotensi untuk menjadi pemahaman ekstrim. Dan ini seringkali terjadi karena kurangnya perhatian terhadap adab.
ADAB. Itulah yang saat ini seringkali hilang. Terutama dari seorang pencari ilmu. Sehingga seringkali sesama pencari ilmu saling mencela karena berbeda. Sehingga yang lebih berilmu menjadi arogan dan merasa lebih baik dari yang lain. Sehingga tujuan ilmu yang sebenarnya, menjadi tidak tercapai.
Padahal adab sangat penting bagi seorang pencari ilmu. Supaya sang pencari memiliki arah, kerangka berpikir dan pemahaman yang benar, sehingga dia bisa mengambil manfaat penuh dari ilmu yang didapatkan. Sehingga tujuan ilmu yang sebenarnya bisa tercapai. Ketika adab ini diabaikan, maka seorang pencari ilmu sangat rentan untuk tertular karakteristik iblis (mis: pembangkang, arogan), sehingga nilai ilmu tersebut menjadi nol besar.
Adab yang benar, akhlak yang mulia, karakter yang baik, dan perilaku salih adalah karakter pembeda seorang muslim. Dan permata yang paling berharga, yaitu ilmu, tidak akan bisa didapatkan kecuali oleh orang-orang yang menghiasi diri mereka dengan adab dan mereka yang meninggalkan karakter-karakter iblis.
Ref:
- The Etiquette of Seeking Knowledge (Hilyatu-Thaalibil-‘Ilm), oleh Syaikh Bakr Abu Zayd, diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh Abu ‘Abdillah Murad ibn Hilmi Asy-Syuweikh
- Etiquettes of Seeking Knowledge 101, Islamic Online University, Dr. Bilal Philips