We

To Make Hay While The Sun Shines

Allah tidak butuh kita untuk memberikan hidayah kepada hamba-Nya. Allah hanya menawarkan kesempatan kepada kita semua untuk ambil bagian.

Beberapa tahun lalu, di masa-masa awal masa pencarian saya, saya mengenal seorang sahabat non-muslim. Kami sama-sama mencari sesuap nasi di kantor (lebih tepatnya lapangan / field) yang sama. Kami sama-sama seorang engineer. Kami pun sama-sama merantau di kota itu, Bojonegoro. Saat itu keluarga saya belum ikut pindah ke sana karena menunggu semester sekolah anak selesai. Jadinya, saya dan sahabat saya itu sering cari makan bareng sepulang kerja dari field.

Waktu makan bareng itu waktu yang sangat ditunggu-tunggu setelah berjibaku dengan garangnya field yang penuh dengan bule-bule, yang dzikir sehari-harinya adalah kalimat “f*ck”, “sh*t”, “A** h*le”, dan kata-kata binatang lainnya. Sehingga makan malam bukan cuma sekedar menghilangkan lapar, tapi juga ajang mencurhatkan masalah masing-masing di field. Dan di sela-sela itu, kadang kami mengadakan inter-faith discussion, diskusi antar agama, hehe. Kami sering membahas kesamaan yang ada, seperti misalnya kisah Abraham (Nabi Ibrahim ‘alayhissalam), Isaac (Nabi Ishaq ‘alayhissalam), Jacob (Nabi Ya’qub ‘alayhissalam), dan Moses (Nabi Musa ‘alayhissalam). Dan biasanya diskusi mulai hot ketika kami membahas Jesus (Nabi ‘Isa alayhissalam) dan Nabi Muhammad Sallallahu ‘alayhi wasallam.

Sahabat saya itu seorang Katolik yang taat. Karakter, perilaku dan jiwa penolongnya luar biasa. Saya sebagai seorang muslim (yang saat itu masih jauh dari agama) dibuat malu dengan akhlak nya. Gimana ngga. Dia mengizinkan rumahnya yang kosong (di kawasan Jakarta dan sekitarnya) untuk ditinggali tetangganya. Seorang janda yang suaminya meninggal, jadinya ngga mampu membayar kontrakan rumah. Dia izinkan janda itu, di rumahnya yang baru direnovasi, tanpa harus membayar sepeserpun. Dan bahkan biaya sekolah anak janda itu pun ditanggung sama dia. Sedangkan saya saat itu, sadaqah aja jarang.

Di saat saya waktu itu shalat subuh aja masih sering kesiangan, dia jam 3 pagi udah bangun untuk beraktifitas. Di saat saya begitu itung-itungan dengan gaji pembantu rumah tangga, dia bahkan membiayai sekolah anak pembantu rumah tangganya. Dan dia ngga minum alkohol. Ngga juga makan daging babi.

Dia begitu peduli dengan sahabatnya. Suatu ketika, saat kami masih ngantor di Jakarta, saya pernah sakit karena kecapekan, terkapar di rumah sendiri sepulang dari kantor dalam kondisi muntah-muntah dan cuma bisa merangkak karena saking pusingnya, sementara istri saya sedang menunggu anak yang kebetulan juga sedang dirawat di rumah sakit. Saya dan istri saya yang hampir semua keluarganya ada di Bandung, hanya bisa mengandalkan sahabat. Dan sahabat saya itu, ketika dihubungi, meskipun sedang berada di suatu acara yang jauh dari rumah saya, dengan segera datang ke rumah dan membawa saya ke UGD. Bener-bener luar biasa.

Dan di luar itu semua, masih banyak lagi kebaikannya yang tidak bisa saya sebutkan satu-satu di sini.

Kembali ke makan malam yang sering dibumbui interfaith discussion. Saya masih inget betul, suatu ketika kami ngebahas tentang Al-Qur’an yang sering menceritakan tentang Bani Israil. Tentang begitu banyaknya ayat-ayat yang meng-address Bani Israil. Dan juga kisah-kisah yang juga diceritakan di Bible (Injil). Sahabat saya menyimpulkan itu semua sebagai bukti bahwa Nabi Muhammad Sallallahu ‘alayhiwasallam telah mengarang Al-Qur’an dengan Injil sebagai referensinya. Diskusi pun mulai hot. Saya begitu ingin men-defend dan meng-counter argumen itu, tetapi saya waktu itu ngga punya apa-apa dan ngga tahu apa-apa untuk men-defend maupun meng-counter. Saya waktu itu bahkan ngga tau inti isi Al-Qur’an itu apa? Karena sebelum-sebelumnya cuma baca aja, tanpa paham artinya. Itu pun jarang-jarang.

Setelah diskusi itu, saya banyak menghabiskan waktu untuk meneliti tentang Al-Qur’an. Selama kurang lebih 3 tahun saya mencari berbagai referensi tentang bukti-bukti kebenaran Al-Qur’an, lalu memverifikasinya satu per satu. Sampai akhirnya jelaslah sudah fakta-fakta kebenaran yang tak terbantahkan itu. Fakta-fakta yang kesimpulannya hanya satu: Al-Qur’an ini sangat tidak mungkin dibuat manusia, dan hanya bisa berasal dari Sang Pencipta Langit dan Bumi. Bukti nyata yang membuat pernyataan-pernyataan seperti “Semua agama itu sama” atau “Semua agama itu mengajarkan kebaikan koq”, menjadi kadaluarsa. Tidak ada lagi ruang untuk pernyataan-pernyataan seperti itu. Karena kebenaran sudah begitu jelas tersaji, dan bisa diverifikasi oleh siapa saja.

Saya mulai sering menangis dalam kesendirian dan sedikit demi sedikit mulai mempelajari Al-Qur’an lebih dalam dan selangkah demi selangkah mendekat kepada-Nya, mematuhi perintah-Nya dan perintah Rasul-Nya. Memenuhi tujuan kita diciptakan, untuk mengabdikan diri kepada-Nya. Merasakan kedamaian yang tidak pernah saya rasakan sebelumnya. Ingin rasanya men-share apa yang saya temukan ini kepada sahabat saya itu. Karena setelah memahami semua kebenaran itu, pedih rasanya membayangkan apa yang akan dia hadapi nanti di akhirat. Ingin rasanya mencari cara, agar semua kebaikannya tidak menjadi sia-sia, dengan cara menularkan syahadat kepadanya.

Tapi selama 3 tahun itu, saya dan sahabat saya sudah sangat jarang diskusi lagi. Karena keluarga saya pun sudah pindah ke Bojonegoro. Jadinya sudah ngga ada lagi waktu makan malam bareng sambil diskusi antar-agama. Kami juga dipindahkan ke departemen yang berbeda sehingga jarang punya kesempatan untuk ngobrol.

Sampai suatu ketika, somehow, kami bareng dalam satu bus yang membawa pegawai dari tempat parkir ke field office (harus pake bus soalnya lumayan jauh). Dan seinget saya bus itu pun lagi lumayan kosong. Jadi kita bebas ngobrol macem-macem, termasuk diskusi antar-agama lagi, setelah sekian lama. Dan saya melakukan sebuah kesalahan yang baru saya sadari kemudian.

Waktu itu saya mengira siapapun yang disajikan fakta-fakta kebenaran, dengan akal sehatnya, pasti akan otomatis menerima kebenaran itu. Dan saya mengira saya bisa memberi hidayah kepada seseorang dengan itu. Dengan bodohnya saya mengirimkan video-video Dr. Zakir Naik kepada dia dengan membabi buta. Dan itu malah membuat dia menjauh dan semakin menjauh dari saya.

Saya salah besar. Baru saya sadari kemudian bahwa jangankan saya yang bukan siapa-siapa ini, Rasulullah sallallahu ‘alayhi wasallam saja tidak bisa memberikan hidayah kepada paman beliau. Saya waktu itu baru menyadari bahwa hidayah itu milik Allah semata. Dan kita hanya bisa berikhtiar maksimal untuk menjemputnya atau menularkannya. Bahwa saya hanya bisa menyampaikan kebenaran, itu saja. Karena bagaimanapun saya berdoa “Ya Allah… Guide him, tunjuki dia”, tanpa hati orang itu sendiri yang berdoa “O God, guide me, tunjuki aku”, maka fakta-fakta kebenaran yang ada hanya akan tertolak kembali.

Singkat cerita, saya pun menggarap buku Perjalanan Mencari Kebenaran. Buku yang tujuannya mengumpulkan fakta-fakta kebenaran tersebut dalam satu tulisan sehingga lebih mudah dipahami. Walaupun alasan dibuatnya tulisan itu sebenarnya bukan karena sahabat saya itu secara langsung, tetapi data-data dan fakta-fakta yang ada di situ adalah semua yang saya kumpulkan selama 3 tahun, salah satunya sebagai reaksi dari interfaith discussion dengan sahabat saya itu.

Sebelum saya dan keluarga akhirnya meninggalkan Bojonegoro untuk pindah ke Bandung, saya sempat memberikan buku itu kepada sahabat saya, sebagai kenang-kenangan. Dengan harapan walaupun dia tidak membacanya sekarang, mungkin suatu saat dalam hidupnya dia akan membacanya. Karena pemberian apa lagi yang lebih berharga dari sebuah pintu menuju hidayah.

Sampai sekarang saya ngga tahu apakah dia sudah membacanya atau belum, hehe. Dan kalau sudah baca pun, apakah berpengaruh atau ngga. Karena sekali lagi itu tergantung hatinya. Saya hanya bisa terus berdoa, semoga Allah lembutkan hatinya.

Dan itu terbukti dari reaksi pembaca terhadap buku Perjalanan Mencari Kebenaran. Ada yang biasa-biasa saja setelah baca itu. Ada yang menghubungi saya dan mengatakan sangat tercerahkan, ada non-muslim, ada teman lama, ada teman kuliah, ada ex-teman kantor, dan bahkan ada driver. Dan itu semua selalu dan selalu hanya karena Allah semata. Bukan karena saya, whatsoever.

Allah tidak butuh saya untuk memberikan hidayah kepada hamba-Nya. Allah hanya menawarkan kesempatan kepada kita semua untuk ambil bagian.

To make hay while the sun shines…


Abu Qurrah March 29, 2019
Share this post
Sign in to leave a comment
We
Cingkrang tapi Sombong
Yaitu ketika kita sudah bercelana cingkrang, tapi ketika bertemu ikhwan yang ngga cingkrang, terbersit di dalam hati: “Saya lebih baik darimu”