We

Mempelajari Bagaimana Musuh Mempelajari Kita

Al-Walaa' wal-Baraa' | Fundamentalis | Tradisionalis | Modernis | Sekularis

Sekilas judul di atas memang membingungkan. Maksudnya apa sih mempelajari bagaimana musuh mempelajari kita? Bahkan mungkin sebagian pembaca ada yang nge-dumel di dalam hati, “Kenapa harus pake musuh-musuhan segala sih? Damai aja lah mendingan juga. Kita ini kan hidup mencari kedamaian”. Mungkin gitu kan ya. Itulah kenapa sebelum mengupas maksud dari judul post ini, saya mau bahas dulu mengenai hal musuh-musuhan. Khususnya sebagai seorang muslim.

Kenapa harus musuhan? Itu kan ya pertanyaannya. Musuhan itu memang punya konotasi yang jelek. Soalnya musuhan itu hubungan yang negatif, merugikan dan bahkan destruktif. Jadinya, secara umum, berteman dan berdamai itu lebih disukai, cenderung positif dan konstruktif. Gitu kan ya.

Tapi misalnya nih, kita mau menerapkan kaidah absolut bahwa kita harus berteman dan berdamai ini kepada siapa saja, termasuk misalnya kepada seorang maling yang masuk ke rumah kita, atau kepada laki-laki yang memperkosa anak perempuan kita, atau mungkin kepada seseorang yang membunuh anak kita yang masih bayi. Jadi misalnya kita dengan ramah bilang:

“Oh monggo Mas Maling, silahkan diambil barang-barangnya. Bagus-bagus, Mas, monggo dilihat-lihat.”

Apa gitu ya?

Pastinya ngga gitu. Ketika maling masuk ke rumah kita, ya harus kita musuhi. Begitupun pemerkosa, dan pembunuh. Artinya, memusuhi itu perlu pada situasi-situasi tertentu atau pada orang-orang atau pada pihak-pihak tertentu. Ngga selamanya kita harus berteman dan berdamai dengan semua orang.

Sebagai seorang muslim, kita juga harus tahu siapa teman dan siapa musuh. Dengan siapa berdamai, dan dengan siapa berlepas diri, bahkan memerangi. Dan ini bukan berdasarkan selera kita sendiri-sendiri. Karena jika begitu, bisa jadi pihak yang seharusnya menjadi saudara, malah kita musuhi. Dan pihak yang seharusnya kita musuhi, malah kita temani. Oleh karena itu, masalah kawan atau lawan, Allah yang menentukan, bukan kita. Kita mencintai karena Allah, dan membenci karena Allah. Semua hal yang Allah cintai, harus kita cintai. Semua hal yang Allah benci dan musuhi, harus kita benci dan musuhi juga.

Dalam Islam, ini disebut Al-Wala’ wal Bara’ ( الوَلَاءُ وَالبَرَاءُ ) yang artinya “Loyalitas dan Pelepasan Diri / Permusuhan”. Yaitu loyalitas kepada muslim, dan pelepasan diri kepada orang kafir.

Wow. Ada kata “kafir” disebut. Sebagian pembaca mungkin akan ngedumel lagi, “Kenapa sih pake kata kafir? Jahat banget. Kenapa ngga panggil non-muslim aja sih?”. Nah, supaya ngga salah paham, saya akan jelaskan dengan mengutip sebuah tulisan pendek dari Akhi Zulfikar Rakhmat,

Kafir- Sebuah kata yang diciptakan oleh Yang Maha Lembut dan Penyayang untuk memanggil mereka yang belum beriman kepada-Nya. Sebuah kata yang belakangan ini sering disalah mengerti. Namun, jika dipahami lebih dalam, kata ini merupakan manifestasi dari Ar Rahman dan Al Latif.

“Kafir” berasal dari kata “Kafara” yang berarti tertutup. Sesuatu yang tertutup bisa dibuka. Kata ini sesungguhnya merupakan teguran bagi orang yang beriman agar tidak melihat rendah mereka yang belum seiman (sebab hanya Allah yang bisa membuka dan menutup hati) dan berjuang untuk membuka mata hati mereka.

“Jangan panggil Kafir, non-Muslim saja!”, ucap kebanyakan orang akhir-akhir ini. Eits, sebentar. Kata ini sebenarnya jauh dari kesantunan dan kasih sayang. “Muslim” berasal dari kata “Islam” yang juga berasal dari kata “Salam”. “Salam” bisa diartikan “damai” atau “selamat”. Jadi, “non-Muslim” berarti “orang yang tidak damai” atau “tidak selamat.”

Dan sepertinya memanggil sekelompok orang sebagai mereka yang “tertutup” jauh lebih santun daripada mereka yang “tidak damai” atau “tidak selamat”. 

Ah, kita manusia memang hanya bisa sombong, merasa tahu segalanya. 

Sebuah penjelasan yang singkat, padat, dan mengena. Tapi mungkin masih ada juga pembaca yang ngedumel “Jangan merasa benar sendiri dong, masing-masing kan beriman kepada keyakinannya masing-masing, semua agama itu kan sama, sama-sama mengajarkan kebaikan.”

Bagi pembaca yang ngedumel begini, saya menyarankan untuk membaca tulisan Perjalanan Mencari Kebenaran, yang memaparkan bukti-bukti bahwa saat ini, hanya ada 1 kebenaran saja yang layak untuk diyakini. Dan kalau itu mungkin belum cukup, bisa membaca bukunya langsung yang memaparkan data-data dan bukti-bukti yang lebih detil. 

Kembali ke kata “kafir”. Kafir pun terbagi menjadi 4 macam (diambil dari penjelasan Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri):

  1. Kafir Harbi, yaitu orang kafir yang tinggal di negeri kafir dan nyata-nyata mengumandangkan peperangan terhadap ummat Islam.
  2. Kafir Mu’ahad, yaitu orang kafir yang tinggal di negeri yang menjalin perjanjian damai atau gencatan senjata dengan negeri Islam.
  3. Kafir Musta’man, yaitu orang kafir yang tinggal di negeri kafir dan ia masuk ke negeri Islam dengan izin (suaka) baik dari pemerintah, atau perorangan (semisal calling visa).
  4. Kafir Zimmi, yaitu orang kafir yang tinggal di negeri Islam dengan kewajiban tunduk terhadap hukum yang berlaku di negeri Islam dan dengan kewajiban membayar jizyah.

Bagaimana sikap seorang muslim terhadap masing-masing kategori orang kafir itu? Bisa dibaca selengkapnya di sini. Singkatnya, level berlepas dirinya kita atau bahkan memerangi mereka, tergantung dari bagaimana level permusuhan mereka terhadap Islam. Kalau kita mempelajari sejarah bagaimana dulu Kekhalifahan Turki Utsmani runtuh, kita bisa menilai siapa saja yang tergolong kafir harbi.

Oke, mudah-mudahan udah clear ya mengenai musuh-musuhan ini. Sekarang mari kita kembali ke judul post, “Mempelajari Bagaimana Musuh Mempelajari Kita”. Post ini sebenernya bisa dibilang kelanjutan dari post sebelumnya “4 Kategori Muslim Menurut Dunia Barat“. Dan mencoba mempelajari bagaimana musuh telah mempelajari kita dengan begitu intensif.

Kenapa disebut musuh? Karena tampak jelas dari isi studinya yang memaparkan strategi untuk mengadu domba muslim. Yaitu studi dari RAND Corporation, yang berjudul “Building Moderate Muslim Networks” oleh Angel Rabasa, Cheryl Benard, dkk. dan “Civil Democratic Islam – Partners, Resources, and Strategies” oleh Cheryl Benard. Dua judul ini, menurut saya, terjemahan simpelnya adalah: “Tips dan Trik Menjinakkan Muslim”, kurang lebih begitu. Karena memang jika membaca studi ini, muslim itu seakan-akan semacam hewan buas yang perlu dijinakkan.

Membaca dua studi ini, kesalnya bukan main. Tapi di saat yang bersamaan, tak kuasa mengangguk-ngangguk menyaksikan betapa akuratnya studi itu dalam menggambarkan spektrum umat Islam saat ini. Namun kesal karena menyaksikan musuh begitu tahu dan kenal segala hal tentang kita. Melihat musuh begitu strategis, sedangkan kita hanya reaktif.

Studi ini meneliti umat Islam di seluruh dunia. Tapi siapa sangka Indonesia juga menjadi sorotan. Dan walaupun kedua studi ini dibuat pada tahun 2003 dan 2007, kalau melihat apa yang terjadi di Indonesia saat ini, nampaknya masih sangat valid. Dan meskipun studi ini dibuat oleh US, nampaknya banyak dipakai oleh banyak negara, sebagai pedoman untuk “menjinakkan muslim”. Saya tidak akan bahas lengkap semuanya karena terlalu banyak untuk dibahas dalam satu post. Hanya beberapa key point-nya aja yang akan saya bahas.

Dimulai dengan pernyataan di bagian awal, yang cukup menjelaskan, kenapa akhir-akhir ini umat Islam di Indonesia banyak diobok-obok.

Clearly, the United States, the modern industrialized world, and indeed the international community as a whole would prefer an Islamic world that is compatible with the rest of the system: democratic, economically viable, politically stable, socially progressive, and follows the rules and norms of international conduct. They also want to prevent a “clash of civilizations” in all of its possible variants – from increased domestic unrest caused by conflicts between Muslim minorities and “native” populations in the West to increased militancy across the Muslim world and its consequences, instability and terrorism.

(Jelas bahwa Amerika Serikat, dunia industri modern, dan sudah pasti komunitas internasional secara keseluruhan, akan memilih dunia Islam yang kompatibel dengan sistem lain yang ada: yaitu demokratis, aktif secara ekonomis, stabil secara politik, progresif secara sosial, dan mengikuti aturan-aturan dan norma-norma internasional. Mereka yang juga mau mencegah “bentrokan peradaban” dalam segala bentuk – dari mulai meningkatnya kerusuhan domestik yang disebabkan oleh konflik antara minoritas muslim dengan populasi penduduk asli di Barat, hingga meningkatnya militansi di seluruh dunia muslim beserta konsekuensinya, instabilitas dan terorisme.)

It therefore seems judicious to encourage the elements within the Islamic mix that are most compatible with global peace and the international community and that are friendly to democracy and modernity. However, correctly identifying these elements and finding the most suitable way to cooperate with them is not always easy.

(Sehingga terlihat bijaksana untuk mendorong dan mendukung elemen-elemen di antara ragamnya dunia Islam, yang paling kompatibel dengan kedamaian global dan komunitas internasional, dan yang bersahabat dengan demokrasi serta modernisasi. Namun demikian, mengidentifikasi secara tepat elemen-elemen ini dan menemukan cara yang paling tepat untuk bekerjasama dengan mereka, adalah hal yang tidak selalu mudah.)

(Civil Democratic Islam, hal. ix)

Jadi, yang mereka inginkan adalah, muslim yang kompatibel dengan demokrasi, modernisasi dan perdamaian dunia. Dan mereka akan mendukung elemen-elemen atau golongan-golongan di dalam Islam, yang kompatibel dengan itu. Lalu bagaimana dengan elemen-elemen yang ngga kompatibel?

Tahap pertama, mereka mengkategorikan kita menjadi 4 kategori besar. Mereka sudah paham bahwa muslim sekarang ini memang terpecah menjadi golongan-golongan, dan saling berselisih dan berbeda pendapat mengenai banyak hal. Tentu saja mereka ngga peduli dengan perbedaan pendapat tentang masalah aqidah atau fiqih ibadah. Tapi mereka sangat peduli dengan perbedaan pendapat yang berhubungan dengan politik, ideologi, penerapan hukum, dan way of life (cara hidup). Sehingga inilah yang menjadi kriteria bagi mereka dalam mengkategorikan kita.

Fundamentalists, reject democratic values and contemporary Western culture. They want an authoritarian, puritanical state that will implement their extreme view of Islamic law and morality. They are willing to use innovation and modern technology to achieve that goal.

Traditionalists, want a conservative society. They are suspicious of modernity, innovation, and change.

Modernists, want the Islamic world to become part of global modernity. They want to modernize and reform Islam to bring it into line with the age.

Secularists, want the Islamic world to accept a division of religion and state in the manner of Western industrial democracies, with religion relegated to the private sphere.

The fundamentalists are hostile to the West and to the United States in particular and are intent, to varying degrees, on damaging and destroying democratic modernity. Supporting them is not an option, except for transitory tactical considerations. The traditionalists generally hold more moderate views, but there are significant differences between different groups of traditionalists. Some are close to the fundamentalists. None wholeheartedly embraces modern democracy and the culture and values of modernity and, at best, can only make an uneasy peace with them.

The modernists and secularists are closest to the West in terms of values and policies. However, they are generally in a weaker position than the other groups, lacking powerful backing, financial resources, and effective infrastructure, and a public platform. The secularists, besides sometimes being unacceptable as allies on the basis of their broader ideological affiliation, also have trouble addressing the traditional sector of an Islamic audience.

Traditional orthodox Islam contains democratic elements that can be used to counter the repressive, authoritarian Islam of the fundamentalists, but it is not suited to be the primary vehicle of democratic Islam. That role falls to the Islamic modernists, whose effectiveness, however, has been limited by a number of constraints, which this report will explore.

To encourage positive change in the Islamic world toward greater democracy modernity, and compatibility with the contemporary international world order, the United States and the West need to consider very carefully which elements, trends, and forces within Islam they intend to strengthen; what the goals and values of their various potential allies and proteges really are; and what the broader consequences of advancing their respective agendas are likely to be.

(Fundamentalis, menolak nilai-nilai demokrasi dan budaya Barat kontemporer. Mereka menginginkan negara otoriter dan puritan (mengikuti hukum yang ketat) yang akan mengimplementasikan pandangan ekstrim mereka akan hukum dan moralitas Islam. Mereka mau menggunakan inovasi dan teknologi modern untuk mencapai tujuan itu.

Traditionalis, menginginkan masyarakat yang konservatif. Mereka selalu curiga dengan modernitas, inovasi, dan perubahan.

Modernis, menginginkan dunia Islam menjadi bagian dari modernitas global. Mereka ingin memodernisasi dan mereformasi Islam sehingga sesuai dengan perkembangan zaman.

Sekularis, menginginkan dunia Islam menerima pemisahan antara agama dan negara seperti halnya dalam demokrasi Barat, dimana agama hanya dibatasi pada lingkup pribadi saja.

Fundamentalis sangat berbahaya dan musuh bagi dunia Barat, terutama Amerika Serikat, dan selalu berupaya, dengan level yang bervariasi, untuk merusak dan menghancurkan modernitas demokrasi. Mendukung mereka sama sekali bukan pilihan, kecuali untuk pertimbangan taktis sementara. Traditionalis umumnya memiliki pandangan yang lebih moderat, namun memiliki berbagai golongan-golongan dengan perbedaan pandangan yang cukup luas. Beberapa di antaranya cenderung lebih dekat dengan fundamentalis. Tidak ada satupun golongan yang menyambut sepenuh hati demokrasi modern beserta budaya dan nilai-nilainya. Sebaik-baiknya, hanya bisa membuat perdamaian yang tidak mudah dengan mereka.

Modernis dan Sekularis adalah yang paling dekat secara nilai-nilai dan hukum-hukum dengan dunia Barat. Namun demikian, secara umum mereka berada di posisi lemah dibanding kelompok yang lain, tidak memiliki dukungan yang kuat, sumber finansial, infrastruktur yang efektif, dan platform publik. Sekularis, disamping kadang tidak bisa diterima sebagai sekutu karena afiliasi ideologinya yang lebih luas, namun memiliki masalah yang sama dalam mengatasi sektor tradisional dari masyarakat Islam.

Islam yang traditional dan ortodoks memiliki elemen demokrasi yang bisa digunakan untuk menyerang balik Fundamentalis yang represif dan otoriter, namun tidak cocok sebagai kendaraan utama Islam demoktratis. Peran utama ini sangat cocok dipegang oleh Modernis Islam, yang efektivitasnya, sayangnya, dibatasi oleh beberapa halangan, yang akan dibahas oleh laporan ini.

Untuk mendorong perubahan positif di dalam dunia Islam menuju modernisasi demokrasi yang lebih besar, dan kompatibilitas dengan pemerintahan dunia international kontemporer, Amerika Serikat dan dunia Barat harus mempertimbangkan secara hati-hati elemen yang mana, trend yang mana, dan kekuatan Islam yang mana, yang mereka pilih untuk diperkuat; apa tujuan-tujuan dan nilai-nilai yang dipegang oleh calon sekutu dan proteges (kelompok yang dilindungi) mereka; dan apa konsekuensi yang lebih luasnya ketika agenda-agenda kelompok itu tercapai.)

(Civil Democratic Islam, hal. x)

Jadi, seorang muslim yang ingin melaksanakan semua perintah di dalam Al-Qur’an dan Sunnah secara keseluruhan dan kaffah, di seluruh aspek hidupnya, sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah sallallahu ‘alayhi wasallam beserta tiga generasi terbaik Islam terdahulu, yang bukan hanya terbatas pada ritual ibadah saja, tapi juga cara hidup, hukum, ekonomi, sosial, politik, dan pemerintahan, menurut pengkategorian mereka, akan dicap sebagai Fundamentalis atau setidaknya Traditionalis.

Wah, saya juga bisa dicap Fundamentalis nih, hehe.

Lihat bagaimana mereka berusaha menyamakan keinginan seorang muslim untuk beragama secara utuh, dengan ekstrimisme dan terorisme. Padahal tidak ada satu pun dalil yang mendukung terorisme dan pembunuhan orang-orang tidak bersalah. Bahkan kafir harbi pun tidak semuanya diperangi. Dalam banyak hadits, Rasulullah sallallahu ‘alayhi wasallam melarang membunuh orang yang tidak ikut perang seperti anak-anak, wanita, orang-orang jompo, lumpuh, pendeta dan orang buta. Kemudian Syaikh Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa golongan ini tidak boleh dibunuh kecuali salah satu dari tiga sebab ini (Syamhudi, 2009):

  1. Mereka memiliki peran pemikiran dan pengaturan strategi.
  2. Apabila mereka ikut berperang.
  3. Memberikan dorongan semangat kepada para tentara musuh untuk berperang.

Terlepas dari tidak ada satupun alasan yang membolehkan terorisme, apa yang melatar belakangi munculnya terorisme tidak pernah disinggung sama sekali. Bagaimana negara-negara Barat menginvasi negara-negara muslim juga tidak disinggung. Bagaimana minoritas muslim ditindas di negara mayoritas kafir juga tidak disinggung. Bagaimana dulu dunia Barat meruntuhkan dengan begitu licik Kekhalifahan Turki Utsmani (kekhalifahan Islam yang terakhir) juga tidak disinggung.

Jadi tidak perlu heran belakangan ini muslim di Indonesia yang ingin kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah seperti diobok-obok dan dicap ekstrimis atau teroris. Karena siapapun yang tidak kompatibel dengan nilai-nilai modernisasi, akan dianggap Fundamentalis.

Dan jangan heran juga ketika kelompok Islam liberal macam Abu Janda kini merajalela. LGBT didukung dan dianggap hak asasi manusia, begitu pun pergaulan dan seks bebas. Karena merekalah Modernis yang sepertinya kini memiliki pendukung kuat di belakangnya.

Coba lihat ini sahabat. Inilah strategi yang disarankan oleh studi ini.


A mixed approach composed of the following elements is likely to be the most effective (Campuran dari beberapa elemen berikut kemungkinan besar merupakan pendekatan yang paling efektif) :

Support the modernists first (Dukung terlebih dahulu Modernis):

  • Publish and distribute their works at subsidized cost. (Terbitkan dan sebarkan karya-karya mereka dengan biaya yang disubsidi.)
  • Encourage them to write for mass audiences and for youth. (Dorong mereka untuk menulis untuk audiens besar dan untuk para pemuda dan remaja.)
  • Introduce their views into the curriculum of Islamic education. (Kenalkan pandangan dan pemikiran mereka ke dalam kurikulum pendidikan Islam.)
  • Give them a public platform. (Berikan mereka platform publik).
  • Make their opinions and judgments on fundamental questions of religious interpretation available to a mass audience in competition with those of the fundamentalists and traditionalists, who have Websites, publishing houses, schools, institutes, and many other vehicles for disseminating their views. (Jadikan opini dan pandangan mereka tentang pertanyaan-pertanyaan dasar interpretasi agama tersedia untuk masyarakat luas untuk menyaingi apa yang dimiliki Fundamentalis dan Traditionalis, yang memiliki website, rumah produksi, sekolah, institut, dan banyak kendaraan lainnya untuk mendiseminasikan pandangan mereka.)
  • Position secularism and modernism as a “counterculture” option for disaffected Islamic youth. (Posisikan sekularisme dan modernisme sebagai “budaya saingan” yang menjadi opsi bagi pemuda Islam yang belum terpengaruh.)
  • Facilitate and encourage an awareness of their pre- and non-Islamic history and culture, in the media and the curricula of relevant countries. (Fasilitasi dan dorong kesadaran akan sejarah dan budaya sebelum datangnya Islam di negara tersebut, baik itu di media maupun di dalam kurikulum.)
  • Assist in the development of independent civic organizations, to promote civic culture and provide a space for ordinary citizens to educate themselves about the political process and to articulate their views. (Bantulah pengembangan organisasi masyarakat independen, untuk mempromosikan budaya masyarakat dan sediakan ruang untuk warga biasa untuk mengedukasi mereka mengenai proses politik dan untuk mengartikulasikan pandangan mereka.)

Sahabat, apa kita ngga geleng-geleng kepala membaca ini? Bukankah hampir semua yang disebutkan di atas, satu per satu sudah terlihat belakangan ini? Allahul musta’aan.

Mari kita lanjutkan.


Support the Traditionalists against the Fundamentalists (Dukung Traditionalis dalam melawan Fundamentalis):

  • Publicize Traditionalist criticism of Fundamentalist violence and extremism; encourage disagreements between Traditionalists and Fundamentalists. (Publikasikan kritik Traditionalis terhadap kekerasan dan ekstrimisme Fundamentalis; dorong pertentangan antara Tradisionalis dan Fundamentalis)
  • Discourage alliances between Traditionalists and Fundamentalists. (Hambat persatuan antara Tradisionalis dan Fundamentalis)
  • Encourage cooperation between Modernists and the Traditionalists who are closer to the Modernists end of the spectrum. (Dorong kerjasama antara Modernis dan Traditionalis yang lebih dekat kepada spektrum Modernis.)
  • Where appropriate, educate the Traditionalists to equip them better for debates against Fundamentalists. Fundamentalists are often rhetorically superior, while Traditionalists practice a politically inarticulate “folk Islam”. In such places as Central Asia, they may need to be educated and trained in orthodox Islam to be able to stand their ground. (Jika memungkinkan, berikan edukasi kepada Traditionalis untuk mempersenjatai mereka lebih banyak dalam debat melawan Fundamentalis. Fundamentalis seringkali superior secara retorika, sedangkan Traditionalis mempraktekkan ketidakjelasan posisi politik “Islam rakyat”. Di lokasi seperti Asia Tengah, mereka mungkin perlu untuk diberikan edukasi dan pelatihan dalam Islam ortodoks sehingga bisa mempertahankan posisi mereka.)
  • Increase the presence and profile of Modernists in Traditionalists institutions. (Tingkatkan kehadiran dan peran Modernis di dalam institusi Traditionalis.)
  • Discriminate between different sectors of Traditionalism. Encourage those with a greater affinity to Modernism, such as the Hanafi law school, versus others. Encourage them to issue religious opinions and popularize these to weaken the authority of backward Wahhabi-inspired religious rulings. This relates to funding: Wahhabi money goes to the support of the conservative Hambali school. It also relates to knowledge: More-backward parts of the Muslim world are not aware of advances in the application and interpretation of Islamic law. (Diskriminasikan antara berbagai golongan Traditionalis. Dorong mereka yang lebih dekat afiliasinya dengan Modernisme, seperti madzhab Hanafi versus yang lain. Dorong mereka untuk mengeluarkan pendapat agama dan populerkan pendapat itu untuk melemahkan otoritas pemerintahan yang terinspirasi oleh Wahabi yang terbelakang. Hal ini berkaitan dengan pendanaan: uang Wahabi yang mengalir untuk mendukung madzhab Hambali konservatif. Juga terkait dengan ilmu pengetahuan: Lebih banyak lagi daerah-daerah di dunia Muslim yang terbelakang dan tidak sadar dengan kemajuan dan aplikasi interpretasi hukum Islam.)
  • Encourage the popularity and acceptance of Sufism. (Dorong popularitas dan penerimaan Sufisme)

Apa sahabat ngga kesal membaca ini? Saya sih kesalnya bukan main membaca ini. Kesal karena hal-hal ini pun benar-benar terjadi di negeri ini.


Confront and oppose the Fundamentalists (Hadapi dan lawan Fundamentalis):

  • Challenge their interpretation of Islam and expose inaccuracies. (Tantang interpretasi mereka mengenai Islam dan ekspos setiap ketidakakuratan.)
  • Reveal their linkages to illegal groups and activities. (Perlihatkan hubungan mereka dengan kelompok-kelompok dan aktivitas ilegal.)
  • Publicize the consequences of their violent acts. (Publikasikan konsekuensi dari tindakan kekerasan mereka.)
  • Demonstrate their inability to rule, to achieve positive development of their countries and communities. (Tunjukkan ketidakmampuan mereka dalam memerintah, dan dalam memberikan perkembangan positif di negara dan komunitas mereka.)
  • Address these messages especially to young people, to pious Traditionalist population, to Muslim minorities in the West, and to women. (Sampaikan pesan ini terutapa kepada para pemuda, kepada populasi Traditionalis yang salih, kepada minoritas muslim di dunia Barat, dan kepada para wanita.)
  • Avoid showing respect or admiration for the violent feats of Fundamentalist extremists and terrorists. Cast them as disturbed and cowardly, not as evil heroes. (Hindari pemberian hormat atau sikap mengidolakan tindakan-tindakan ekstrimis dan teroris Fundamentalis. Tunjukkan mereka sebagai seseorang yang terganggu dan pengecut, bukan sebagai penjahat tapi pahlawan.)
  • Encourage journalists to investigate issues of corruption, hypocrisy, and immorality in Fundamentalist and terrorist circles. (Dorong jurnalis untuk menginvestigasi isu-isu korupsi, kemunafikan, dan imoralitas para Fundamentalis dan jaringan teroris.)
  • Encourage divisions among Fundamentalists. (Dorong perpecahan di antara Fundamentalis.)

Selectively support Secularists (Dukung Sekularis secara selektif):

  • Encourage recognition of Fundamentalism as a shared enemy, discourage Secularist alliance with anti-US forces on such grounds as nationalism and leftist ideology. (Dorong pemahaman bahwa Fundamentalisme adalah musuh bersama, hambat aliansi Sekularis dengan kekuatan anti-US dalam hal itu, seperti nasionalisme dan ideologi sayap kiri.)
  • Support the idea that religion and the state can be separate in Islam too and that this does not endanger the faith but, in fact, may strengthen it. (Dukung pemahaman bahwa agama dan negara juga bisa dipisahkan di dalam Islam, dan hal itu tidak membahayakan agama, tetapi justru memperkuatnya.)

Dan kegeraman saya memuncak ketika nama Indonesia disebut.


Chapter 7 – The Southeast Asian Pillar of the Network (Bab 7 – Pilar Jaringan Asia Tenggara)

The most unabashedly liberal Muslim organization in Indonesia (and perhaps in all of Southeast Asia) is the Liberal Muslim Network, established in 2001 by young liberal Muslim intellectuals to counter the growing influence and activism of militant and radical Islam in Indonesia. The network’s coordinator, Ulil Abshar Abdalla, was the target of a fatwa issued by radical clerics in 2004 for “apostasy.” In August 2005, the Indonesia Ulema Council, controlled by radical and conservative elements, issued a fatwa denouncing pluralism, liberalism, and secularism as contrary to Islam. A violent Islamist group, the Islam Defenders Front, used this fatwa as justification to threaten violence against the Liberal Muslim Network.

(Organisasi muslim liberal yang tampil tanpa malu-malu di Indonesia [dan mungkin di seluruh Asia Tenggara] adalah Jaringan Islam Liberal, yang dibentuk pada tahun 2001 oleh para intelektual muslim liberal, untuk menekan tumbuhnya pengaruh dan aktivitas Islam militan dan radikal di Indonesia. Koordinator jaringan ini, Ulil Abshar Abdalla, telah menjadi target dari sebuah fatwa yang dikeluarkan oleh ulama radikal pada tahun 2004 dan dianggap sebagai “kemurtadan”. Pada bulan Agustus 2005, Majelis Ulama Indonesia, yang dikendalikan oleh elemen-elemen radikal dan konservatif, telah mengeluarkan fatwa yang mencela pluralisme, liberalisme, dan sekularisme, karena bertentangan dengan Islam. Kelompok Islam keras, Front Pembela Islam, menggunakan fatwa ini sebagai pembenaran untuk mengancam dengan kekerasan terhadap Jaringan Islam Liberal.)

(Building Moderate Muslim Networks, hal. 105)

Lihat bagaimana mereka begitu memuja-muja JIL. Dan men-cap MUI dan FPI sebagai radikal. Sangat tidak nyaman sebenarnya saya membaca studi ini.

Tapi lihatlah begitu akuratnya mereka dalam melihat permasalahan dan perpecahan yang sedang terjadi di tubuh umat muslim. Dan lihatlah bagaimana strategisnya mereka mengadu domba kita. Memanfaatkan sekelompok muslim yang sudah kehilangan jiwa al-wala’ wal bara’-nya, a.k.a. modernis dan liberalis, untuk mempengaruhi para pemuda kita, agar lupa pada agamanya yang sebenarnya.

Sudah saatnya sahabat, kita yang ingin kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah ini, untuk bangun dari keterlelapan kita dininabobokan oleh megahnya dunia. Dan semoga Allah selalu membimbing kita untuk selalu berjalan di atas Al-Qur’an dan sunnah Rasul-Nya, tanpa menjadi ghuluw (berlebihan) dan menjadi ekstrim, karena lagi-lagi inilah yang akan dimanfaatkan musuh untuk menjatuhkan Islam.

Bacalah sejarah. Karena musuh kita membaca sejarah, di saat kita sibuk memilih gadget baru mana yang bisa dibeli, dan mobil baru mana yang lebih keren. Di saat kita sibuk dengan angka, mengumpulkan harta, yang sementara, karena kita tidak bisa hidup selamanya.

Sudah saatnya sahabat, kita rapatkan barisan. Perkuat ukhuwah sesama ahlus sunnah. Jangan mudah terpancing dengan perselisihan mengenai hal yang para ulama terpercaya pun berbeda pendapat akan masalah itu. Mari kita perluas wawasan keilmuan. Karena musuh kita akan memanfaatkan setiap pertikaian. Dan janganlah kita begitu bengis kepada saudara kita yang seharusnya mendapatkan loyalitas kita, dan justru begitu lembut kepada mereka yang seharusnya kita musuhi.

Sudah saatnya kita berhenti menjadi reaktif, dan bergerak ke arah strategis. Karena luapan-luapan emosi tidak akan membawa kita ke mana-mana. Niatkan dan rencanakan segala ikhtiar di dalam hidup kita agar bisa berkontribusi bagi kembalinya kejayaaan Islam. Dan didiklah anak kita sebagaimana tiga generasi terbaik Islam mendidik keturunan mereka. Sehingga jika kita tidak bisa mengembalikan kejayaan Islam, semoga kelak merekalah yang melakukannya.

Referensi:


 

Abu Qurrah March 1, 2019
Share this post
Tags
Sign in to leave a comment
We
Mengagumi Keindahan Matematis Surah An-Naml
Surah ke-27 | 93 ayat | Diawali dengan طس | Ada 27 huruf ط dan 93 huruf س