Bagi yang belum membaca, silahkan untuk menyimak Bagian 1
Sebelum membahas perjalanan awal Banī Isrā'īl di Mesir bersama Nabi Mūsā 'alayhissalām, mari kita bahas dulu sedikit tentang kenapa mereka bisa ended up berada di Mesir. Dan kisah ayah-ayah mereka sebelum itu.
Mari kita tarik mundur dulu sebentar time frame nya ke masa Nabi Ibrāhīm 'alayhissalām.
Setelah menghadapi Raja Namrud di Babilonia (yang di zaman sekarang adalah wilayah Iraq), Nabi Ibrāhīm 'alayhissalām mendapatkan perintah dari Allah untuk berhijrah ke negeri Syam. Sebuah wilayah yang di masa sekarang ini meliputi wilayah Yordania, Lebanon, Filisthīn, wilayah yang dikuasai 'Zayonis' (ngerti kan maksudnya siapa), Suriah (Syria), dan sebagian wilayah Türkiye.
Kemudian beliau sempat tinggal di Harran (sekarang lokasinya berada di wilayah Türkiye) lalu menetap di sekitar wilayah Bayt ul-Maqdis بَيْتُ المَقْدِس , yang secara harfiah artinya "rumah suci" atau "kota suci". Yaitu kawasan Masjid ul-Aqshā, yang kini disebut Kota Tua Al-Aqshā atau The Old City of Jerusalem.
Ibnu Katsīr rahimahullāh dalam kitabnya Qashash ul-Anbiyā' menjelaskan bahwa menurut Ahli Kitab, yang pertama kali mendirikan Masjid ul-Aqshā adalah Nabi Ya'qūb 'alayhissalām. Allāhu a'lam.
Dan menurut mereka (Ahli Kitab), ketika Nabi Ibrāhīm 'alayhissalām tiba di negeri Syam, Allah mewahyukan kepadanya, "Sesungguhnya Aku akan menganugerahkan wilayah yang kamu tinggali ini kepada keturunanmu."
Inilah yang sering dijadikan argumen oleh para 'Zayonis' ketika merampas tanah Filisthīn dan mendirikan negara mereka pada tahun 1948. Ketika diprotes oleh seluruh dunia bahwa tindakan mereka itu adalah penjajahan, mereka ngeles dengan mengatakan bahwa mereka hanya ingin kembali ke tanah nenek moyang mereka yang telah dijanjikan untuk mereka dan telah menjadi hak mereka. Merasa sebagai bangsa terpilih, dan keturunan Nabi Ibrāhīm yang paling berhak dengan tanah itu.
Padahal keturunan Nabi Ibrāhīm 'alayhissalām bukan hanya dari jalur Nabi Ishāq dan Nabi Ya'qūb 'alayhimassalām. Tapi juga dari Nabi Ismā'īl alayhissalām.
Padahal tanah itu hanya dijanjikan bagi keturunan Nabi Ibrāhīm 'alayhissalām dari kalangan orang beriman aja. Bukan diwariskan atas garis keturunan (nasab) semata, tapi juga ketaqwaan.
Sebagaimana yang dikatakan Ibnu Katsīr rahimahullāh: “Yang Allah janjikan kepada kalian melalui lisan ayah kalian Isrā'īl, ia mewariskannya kepada orang yang beriman dari kalian."
Dan ini nih yang sangat penting buat kita ambil pelajaran. Pelajaran penting mengenai ketaqwaan. Nanti kita akan menyaksikannya dari perjalanan Banī Isrā'īl secara umat.
Kapan mereka terhalang dari memasuki tanah yang dijanjikan itu selama 40 tahun terlunta-lunta di Padang Tīh?
Kapan mereka berhasil memasukinya dan dikokohkan kedudukannya di sana?
Dan kapan mereka terpecah-pecah, dikuasai bangsa asing, terusir lagi dari sana, terhina dibantai Bangsa Romawi, tercerai-berai ke mana-mana, hingga akhirnya dibantai oleh Hitler?
In syā Allāh berlanjut di bagian berikutnya.
Referensi:
Qashash ul-Anbiyā', "Kisah Para Nabi", Ibnu Katsīr
Tafsīr ul-Qur'ān il-'Azhīm, Ibnu Katsīr
Filisthīn yang Terlupakan, Khalid Basalamah