Dua Ramadhan yang lalu, “Perjalanan Mencari Kebenaran” ditulis. Sebuah tulisan yang diambil dari fragmen kehidupan ini. Kehidupan saya yang bukan siapa-siapa ini. Hanya seorang truth seeker, di tengah lautan kehidupan yang luas, yang berjuang di titik hidupnya yang terendah. Ketika hidup dipenuhi kegelisahan, angan-angan kosong, dan keinginan untuk mencari kedamaian, yang entah bagaimana mendapatkannya.
Yang menemukan secercah petunjuk jalan dalam big bang. Mendapatkan seberkas sinar dari cahaya bulan. Dari besi yang diturunkan, dan gunung yang menstabilkan. Hingga fenomena pembatas dua perairan dan bagaimana manusia diciptakan.
Lautan luas tanpa arah itu, perlahan dipenuhi petunjuk di segala penjuru. Dari simetri dalam ayat kursi. Hingga ring composition structure, yang begitu remarkable.
Kekaguman pun tak bisa berhenti, ketika mu’jizat datang bertubi-tubi. Dengan statistik kata dan hurufnya yang luar biasa presisi.
Sehingga jelaslah cahaya yang sempurna. Cahaya kebenaran yang begitu jelas di depan mata. Al-Qur’aanul Kariim.
Sebuah kitab mulia yang mengubah hidup. Karena memang kesimpulannya hanya satu. Bahwa tujuan diciptakannya manusia, adalah untuk menghambakan diri kepada-Nya saja, bukan kepada dunia. Itulah satu-satunya cara untuk mendapatkan kedamaian yang sesungguhnya.
Dan seorang hamba, layak disebut hamba, hanya jika dia tunduk pada semua yang diperintahkan oleh-Nya dan utusan-Nya. Karena ketika kebenaran sudah berada di depan mata, maka tidak ada ruang lagi untuk bertanya. Respon atas segala perintah adalah: Sami’naa wa atho’naa. Kami dengar, dan kami taat, itu saja.
Begitulah dua Ramadhan yang lalu.
Seolah-olah perjalanan sudah mencapai tujuannya. Sudah mendapatkan apa yang dicari. Merasa Allah sudah menjawab keseluruhan doa yang saya ucapkan minimal 17 kali setiap hari:
اهْدِنَا الصِّرٰطَ المُسْتَقِيمَ
Ihdinaash shiraathal mustaqiim. Tunjukanlah kami jalan yang lurus.
Tidak menyadari bahwa tidak ada kata إِلَى (ilaa: “ke”) di situ. Ayatnya bukan berbunyi:
اهْدِنَا إِلَى الصِّرٰطِ المُسْتَقِيمِ
Ihdinaa ilaash shiraathil mustaqiim. Tunjukanlah kami KE jalan yang lurus.
Perjalanan Mencari Kebenaran, begitulah dulu judulnya. Seolah-olah “kebenaran” itu adalah sebuah tempat tujuan. Padahal “kebenaran” yang ditemukan itu ternyata berupa “jalan”. Jalan yang lurus. Dan lurus itu bukan berarti mudah. Karena shiraathal mustaqiim, adalah jalan yang mendaki lagi sukar.
Dan ketika kita mengucapkan “Ihdinaash shiraathal mustaqiim“, sebenarnya kita sedang meminta 3 hal:
- Bimbinglah kami ke jalan yang lurus (meminta petunjuk kepada kebenaran beserta syari’atnya)
- Bimbinglah kami dalam melalui jalan yang lurus ini (meminta kekuatan dan bimbingan untuk melaksanakan dan menjalaninya)
- Bimbinglah kami hingga akhir dari jalan yang lurus ini (meminta ke-istiqamah-an hingga akhir hayat sehingga bisa mencapai tempat tujuan, yaitu jannah-Nya)
Sehingga ketika kita sudah menemukan kebenaran, sebenarnya itu hanya sebagian kecil dari tantangan yang sesungguhnya. Karena bagian tersulit adalah menjalani kebenaran itu, dan terus menerus menjalaninya sampai mati.
Tantangan yang sangat sulit. Apalagi jika menghadapinya sendirian. Itulah kenapa ayatnya berbunyi اهْدِنَا (ihdinaa – tunjukanlah kami), bukan اهْدِنِي (ihdinii – tunjukanlah aku). Karena kita tidak bisa sendiri menjalaninya. Kita harus bersama-sama dalam meraih petunjuk Allah. Harus banyak berkumpul dengan orang-orang shalih, dan saling menasihati satu sama lain.
Dan meskipun bersama-sama, kita tetap membutuhkan pertolongan Allah. Itulah kenapa, minimal 17 kali setiap hari pula, kita tidak hanya mengucapkan:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ
Iyyaaka na’budu. Hanya kepada-Mu saja kami mengabdikan diri, menghambakan diri, dan menyembah.
Tetapi kita juga mengucapkan:
وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Wa iyyaaka nasta’iin. Hanya pertolongan-Mu, dan hanya pertolongan-Mu saja, yang kami cari.
Kita harus menyadari bahwa menjadi hamba Allah bukan sesuatu yang mudah. Itu adalah suatu komitmen besar kita kepada Allah. Dan ketika membuat komitmen besar, kita butuh pertolongan.
Dan dari sekian banyak kata “pertolongan” yang ada dalam Bahasa Arab, Allah memilih kata عون (‘auun) yang kemudian menjadi nasta’iin. Padahal ada kata نصر (nashr), مساعد (musaa’ada), dan lain-lain.
‘Auun adalah sebuah pertolongan yang sangat spesifik. Sehingga kita meminta kepada Allah, pertolongan yang sangat spesifik untuk kita.
Dan kata nasta’iin, bukanlah untuk seorang pemalas. Ketika kita mendapatkan masalah, dan kita sudah berusaha maksimal untuk mengatasinya, tetapi tidak bisa, lalu kita meminta pertolongan, itulah isti’aana.
Karena pertolongan Allah hanya bagi mereka yang berusaha maksimal. Bukan mereka yang berpangku tangan, tanpa melakukan usaha apapun.
Ditulis oleh: Eka Pratama
21 Ramadhan 1440H